Kamis, 27 Agustus 2009

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)

Pada hari Jum’at, 19 September 2008 penulis mengunjungi sebuah blog (blog walking) untuk memberi informasi tentang blog penulis. Ternyata, di salah satu halaman blog itu ada tulisan seorang pengunjung yang mengomentari pengunjung lainnya, “Kalau mau mengisi komentar OOT, jangan di sini, kan ada buku tamu. Jangan seperti FS dong...”

Penulis mencari inisial FS di halaman tersebut tapi tidak ditemukan. Penulis tidak tahu siapa FS yang dimaksud karena penulis pun baru membaca diskusi yang ada dan belum memberikan komentar. Tapi, penulis merasa tersentil juga karena FS adalah inisial nama penulis di tempat kerja, Inixindo.

Penulis merasa diingatkan Allah lewat tulisan itu, agar memperbaiki cara berdakwah. Sejak peluncuran blog sampai dengan tanggal 19 September 2008, penulis memang sering mengunjungi blog lain sebagai strategi marketing dakwah. Memang, terkadang (mungkin juga agak sering) komentar penulis termasuk kategori OOT (Out Of Topic).

Awalnya, penulis merasa hal itu bukan sebuah masalah. Toh pemilik blog bisa tidak menyetujui atau menghapusnya jika memang komentar penulis kurang dikehendaki. Namun, tulisan salah satu saudara kita tersebut penulis rasa sebagai “sms cantik” dari Allah agar penulis memperhatikan perasaan para pemilik blog.

Segera penulis meninggalkan komentar tanggapan di blog itu yang intinya meminta maaf dan juga ikut memberikan sedikit coretan yang 100% sesuai topik bahasan. Setelah itu, di blog penulis, tulisan “Selamat Berpuasa...” segera penulis ganti dengan permohonan maaf kepada semua saudara kita, terutama yang blognya penulis kunjungi tapi kurang berkenan terhadap komentar yang ditinggalkan.

Penulis teringat sebuah nasihat Gus Mus, “Anehnya, terhadap Allah Yang Begitu Baik, kita justru begitu berhati-hati, bahkan sering berlebihan hingga menimbulkan was-was atau masalah di antara kita. Sementara terhadap manusia yang sulit, kita sering sembrono dan seenaknya. Padahal, banyak dalil naqli yang menyebutkan dosa antar sesama.”

Nabi Muhammad saw. pun telah mengingatkan kita :


الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ


Seorang muslim ialah seseorang dimana muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (Muttafaq ‘alayh)


لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ


Tidak benar-benar beriman seseorang di antara kalian sampai dia mampu menyukai sesuatu untuk saudaranya, sebagaimana dia menyukai sesuatu untuk dirinya sendiri. (Muttafaq ‘alayh)


“Bagaimana bisa kita mengaku mencintai Allah tapi kita tidak mencintai hamba-Nya?” nasihat lain Gus Mus.


مَامِنْ شَيْئٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ


Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada Hari Kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (HR Tirmidzi)

Di buku “Wawasan Al-Qur’an”, M. Quraish Shihab mencantumkan sebuah hadits lain yang menjelaskan pentingnya hubungan baik dengan sesama :


الدِّيْنُ الْمُعَـامَلَةُ


Agama adalah hubungan interaksi yang baik.

Al-Fudhail bin Iyadh menasihatkan, “Seandainya seorang hamba memperbaiki semua kebaikannya, sementara dia mempunyai seekor ayam lalu memperlakukannya dengan tidak baik, maka dia bukanlah seorang yang berakhlak.”

Betapa dalam nasihat Imam al-Fudhail tersebut. Terhadap binatang saja kita harus baik, apalagi terhadap sesama manusia. Ditanyakan kepada Dzun Nun al-Mishri,
“Siapakah yang paling menggelisahkan manusia?”
“Yang paling buruk akhlaknya,” jawab beliau.

Bagaimanakah akhlak yang dicontohkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib kw.? Dikisahkan bahwa beliau pernah memanggil seorang budak sahaya remaja dan ia tidak menjawab panggilan tersebut. Beliau mengulanginya lagi sampai tiga kali dan sahaya itu pun tidak menjawabnya. Khalifah melangkah mendekat dan melihatnya sedang enak-enakan berbaring.
“Apakah engkau tidak mendengar, wahai Anak?” tanya Khalifah.
“Mendengar,” jawabnya enteng.
“Apa yang membuatmu tidak menyahut?”
“Saya merasa aman dari ancaman siksaanmu. Karena itu, saya bermalas-malasan.”
“Pergilah, anakku. Engkau bebas karena Allah.”

Tidakkah kita perhatikan bagaimana akhlak beliau terhadap seorang budak, padahal waktu itu beliau adalah khalifah? Tidakkah kita lihat bahwa usia beliau lebih tua daripada sahaya tersebut? Tapi mengapa beliau tidak tersinggung? Bukankah dari jawaban sahaya itu bisa kita simpulkan bahwa Khalifah Ali adalah seorang yang berakhlak mulia? Kalau kita berada di posisi Khalifah Ali, kira-kira apa yang akan kita lakukan?

Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya selalu mencari kesempurnaan karena Islam itu sendiri adalah kesempurnaan dan selalu memberikan dorongan ke arah kesempurnaan. Jika kita memperhatikan apa yang ditawarkan oleh Islam berupa kesempurnaan yang memiliki hubungan dengan adab-adab berinteraksi, niscaya kita akan menemukan lautan tak bertepi karena gambaran kehidupan itu sendiri tidak pernah selesai.


Dalam setiap makhluk yang kaulihat
Kan kautemukan segenap kebaikan
Balaslah kebaikan dengan kebaikan
Jika tidak, malah dengan yang lebih baik
(karya Ibnu Hazm)


Akhirnya, mari kita merenung sejenak.

Sudahkah kita berbicara terhadap orang lain dengan pemilihan kata dan intonasi suara yang menampakkan kesantunan, keramahan dan keindahan?

Sudahkah kita bersikap lemah lembut bila hendak menegur atau mengingatkan saudara kita, sebagaimana ungkapan Jawa “Menang tanpa ngasoraké (meraih kemenangan tanpa merendahkan orang lain)”?

Sudahkah kita antri dengan tertib menunggu giliran kita? Bukankah peristiwa Pasuruan saat antri menerima sedikit uang zakat bulan Ramadhan 1429H termasuk pelajaran berharga?

Sudahkah kita bersedia sedikit rendah hati tidak memandang diri kita orang penting dengan cara mengikuti warna lampu lalu lintas sehingga tidak terjadi kesemrawutan?

Sudahkah kita mau bersabar menunggu ketika kemacetan tak terelakkan, tanpa harus membunyikan klakson berkali-kali, padahal semua orang tahu jalanan sedang macet?

Sudahkah kita menjaga perasaan orang lain dalam keseharian...?



Daftar Pustaka :

*
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
*
A. Mustofa Bisri, Kyai, “Membuka Pintu Langit”, Penerbit Buku Kompas, Cetakan kedua : November 2007
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini lanjutan dari : "Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (1 of 2)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar