Senin, 18 Januari 2010

Kesepian

Hampir setiap orang pernah merasa-kan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin
itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikeli-lingi keluarga, harta benda, dan
segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat
betapa sesungguhnya kita ini tidak me-miliki apa-apa, betapa kita ini hidup ter-pisah dari
semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila
kematian datang menjemput kita. Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada
arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih
berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur
dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini ko-song tak berarti, lalu mengikatkan
diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada keperca-yaan,
kepada negara, dan sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya, akar dari-pada pengikatan itu
bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan
kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan
dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena
itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mem-pertahankan kepada
yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku,
bangsaku, aga-maku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah “ku”
nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak
menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi
kepentinganku.
Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang
sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat se-orang pun kecuali kita sendiri,
kalau kita berada di tempat itu dengan batin ko-song, dengan pikiran yang tidak meng-oceh,
dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadar-an, maka akan
terasalah adanya kehe-ningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri.
Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada
beda-nya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya
di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan
pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan
berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak
terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah
dan senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya.
Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau kehening-an dalam
diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku
yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan
menikmati ke-heningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin
itu dan justeru keinginan inilah yang me-niadakan segala-galanya, kecuali menda-tangkan
kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua
kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang
menda-tangkan lingkaran setan yang tiada akhir-nya! Keheningan sebelum si Aku masuk
adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang
menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di
dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar
dari kehe-ningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu
kesenangan lahir batin.
Ada orang yang mengira bahwa kehe-ningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya
upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, me-lalui pertapaan, melalui
pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam guha-guha atau di puncak-puncak gunung.
Pa-dahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan
kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita
bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didayaupayakan,
dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh
apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti
masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada
artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin se-nang, maka dicari-cari dan dikejar-
kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapat-kan itu
bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan me-masuki batin yang
bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang
dapat ditembus sinar cinta kasih.