Kamis, 27 Agustus 2009

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (3 of 5)

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (3 of 5)
Pada tulisan terdahulu, kita telah membahas metode dzikir dengan pikiran (taffakur). Sekarang kita akan mengulas teknik berdzikir yang kedua, yaitu :

b. Dzikir dengan telinga

Dzikir dengan telinga merupakan salah satu bentuk dzikir dengan perbuatan (af‘âl). Dzikir dengan telinga artinya kita mendengarkan kalimat-kalimat baik atau nasihat-nasihat bijak yang mengingatkan kita kepada Allah. Saat ini banyak sekali da‘i dengan metode masing-masing. Mungkin tidak semua mengena dengan kondisi kita. Oleh karena itu mendengarkan berbagai nasihat dari banyak ulama akan sangat membantu. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap juru dakwah mempunyai teknik pidato (retorika) masing-masing. Ada yang menggunakan Langgam Agama, Langgam Agitasi, Langgam Konservatif, Langgam Didaktik, Langgam Sentimentil, Langgam Teater, Langgam Statistik atau gabungan beberapa langgam. Begitu pula pemilihan kata, intonasi, tempo dan ciri khas suara, setiap da‘i berbeda antara satu dengan lainnya.

Mendengarkan seorang motivator dan inspirator yang notabene bukan da‘i juga diperbolehkan, selama apa yang disampaikan adalah kebaikan dan tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam. Sama halnya dengan dzikir, hal ini harus dilakukan terus-menerus secara istiqamah. Menurut seorang motivator, nasihat-nasihat bijak ibarat mandi. Setelah mendengarkan nasihat, maka orang akan tenang dan bersemangat seperti habis mandi, badan segar-bugar dan pikiran pun penuh inspirasi. Namun, setelah melakukan aktivitas, maka badan terasa lelah, tubuh dan wajah kotor serta pikiran ruwet. Karena itu harus mandi lagi untuk mengembalikan ke kondisi semula.

Dzikir dengan telinga bisa juga dilakukan dengan mendengarkan nasyid, shalawat atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dibacakan oleh seorang qari’. Dengan ilmunya, qari’ akan membaca dengan penuh penghayatan (tadabbur). Lagu-lagu qira’ah sudah pasti dikuasainya dengan baik, misalnya bayâtî, bayâtî sûrî, bayâtî qarâr, husayni, rasta ‘alâ an-nawâ, nahawân, shabâ, sîkâ, hijâz dan lagu-lagu lainnya. Walaupun kita belum mengerti arti ayat-ayat yang dibaca, cara ini tetap akan membuat pikiran dan jiwa kita tenang. Apalagi bila kita sudah memahaminya, sehingga bisa ikut larut dalam penghayatan sang qari’.

Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah, melunakkan hati yang keras serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksudkan dengan rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik.

وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ ُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّـكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat. (QS al-A‘râf [7] : 204)

Demikian besar mukjizat Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi, sehingga takkan bosan orang yang membaca dan mendengarkannya. Semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada Al-Qur’an. Bila Al-Qur’an dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik juga merdu, akan lebih memberi pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkan dan bertambah pula imannya.

Dr. Masaru Emoto dari Jepang sudah membuktikan secara ilmiah bahwa air yang dibacakan doa atau kalimat baik akan membentuk struktur molekul yang sangat indah. Bukankah 70% tubuh kita terdiri dari air? Bukankah itu berarti ketika kita mendengarkan wahyu Ilahi dibacakan, maka air di tubuh kita akan membentuk susunan yang teratur dan sempurna? Subhânallâh.

‘Aidh al-Qarni menuturkan, “Riuhnya permasalahan hidup, kegelisahan orang-orang sekitar, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh orang lain sangat potensial untuk menggoyahkan jiwa, menguras kekuatan fisik dan mencabik-cabik ketenangan hati. Dalam suasana seperti itu, ketenangan hanya didapatkan dalam Kitab Allah dan berdzikir kepada-Nya.”

Sambil rebahan di atas tempat tidur, kita bisa mendengarkan kalâm Ilahi dibacakan. Jika qari’ membaca ayat-ayat yang menceritakan kegembiraan atau surga, maka irama dan suaranya akan membuat imajinasi kita terbang ke tempat-tempat sejuk—ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Terkadang ke suasana senja yang indah, merah merona di tepi pantai yang menakjubkan. Bahkan bisa membawa kita ke dunia memesona di dalam laut, dengan ikan-ikan hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga.

Suara qari’ yang merdu akan mengelus-elus saraf-saraf kita, terasa seperti hawa dingin turun dari langit, menetes deras ke dalam ubun-ubun kepala, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Apalagi jika kita mendengarkannya di saat malam. Di keheningan malam, suara syahdu yang melafal terasa seperti memecah sunyi, membelah dan mengiris hati. Membahana dalam ruas-ruas malam, berpadu dengan suara-suara malam, lindap dalam kesunyian. Lantunan ayat-ayat suci menelusup pada rongga-rongga telinga kita. Suara yang menyentuh gendang telinga itu terasa lembut bak kain sutra—mendayu merdu—seperti air yang mengalir dari sebuah muara hening, menjadikan gulana jiwa tertunduk, tanpa kata.

Tatkala ayat-ayat yang dibaca menceritakan penderitaan, penyesalan atau neraka, maka qari’ akan membacanya dengan irama yang menggambarkan penyesalan penuh, juga kesedihan karena takut tidak mendapat karunia dari Allah. Nada-nada itu akan memandikan hati dan mata kita dengan air mata yang penuh harap akan ampunan dan ridha-Nya. Membuat hati kita bergetar bagai terguncang badai, demi mendengar asma Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).

“Ya Allah, betapa malunya hamba. Betapa hamba telah menjadi manusia yang lalai dari tanggung jawab sebagai hamba-Mu. Hamba telah begitu jauh menapak dalam gelimang naif, meniti nikmat dalam wajah-wajah dosa. Yâ Hayyu yâ Qayyûm Lâ ilâha illâ Anta, Subhânaka innî kuntu minazh zhâlimîn. Ya Allah, jika engkau tidak mengampuni dosa-dosa hamba, maka hamba akan termasuk golongan orang-orang zhalim. Ampunilah dosa-dosa hamba. Terimalah taubat hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, amin,” getir kita dalam hati.

Rasulullah sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan, bahwa Abdullah Ibnu Mas‘ud menceritakan sebagai berikut : Rasulullah berkata kepadaku,
“Wahai Ibnu Mas‘ud, bacakanlah Al-Qur’an untukku!”

Lalu aku menjawab,
“Apakah aku (pantas) membacakan Al-Qur’an untukmu, wahai Rasulullah, padahal Al-Qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?”

“Aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu dari orang lain.”

Kemudian Ibnu Mas‘ud dengan khusyu‘ membaca beberapa ayat dari QS an-Nisâ’ [4]. Bacaan Ibnu Mas‘ud itu sampai pada ayat ke-41 yang berbunyi :

فَكَيْفَ إِذَا جِئْـنَا مِنْ كُلِّ أُمَّـةٍ بِشَـهِيْدٍ وَجِئْـنَا بِكَ عَلىٰ هٰـۤؤُلآءِ شَهِيـْدًا

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul dan nabi) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatankan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu).” (QS an-Nisâ’ [4] : 41)

Ayat itu sangat mengharukan hati Rasulullah, lalu beliau berkata,
“Cukuplah sekian saja, wahai Ibnu Mas‘ud!”

Ibnu Mas‘ud melihat Rasulullah meneteskan air mata serta menundukkan kepala.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(QS al-Anfâl [8] : 2)

KH. Abdurrahman Navis, Lc—Pengasuh Pesantren Nuruh Huda, Jl. Sencaki 64 Surabaya— menjelaskan bahwa Imam Ghazali menerangkan dengan detail tentang “hati”. Kata “hati” memang bermakna dua, yaitu majazi (metafora) dan keseluruhan yang ada di dalam dada (hati, nurani, ruhani, dan sirri). Namun, secara mudah, bila mau diterapkan dalam tataran fisik, “gemetarlah hati” berarti seluruh tubuh gemetar, termasuk tangan dan kaki.

Dari penjelasan beliau, penulis menyimpulkan bahwa gemetarnya seluruh tubuh berarti termasuk di dalamnya adalah berdegupnya jantung, yang dalam bahasa Arab disebut qalb. Wallâhu a‘lam. Bukankah jantung kita akan berdetak dengan lebih kencang tatkala orang yang kita hormati apalagi kita cintai disebut namanya? Apalagi yang disebut adalah Allah, Dzat Yang Menciptakan kita, Sang Kekasih Sejati. Bukankah kita diajarkan untuk mencintai Allah dan rasul-Nya?

Imam al-Ghazali memberi nasihat, “Yang berhak dicintai hanyalah Allah. Semua kecintaan kembali kepada-Nya.” Mencintai Allah tidak seperti mencintai manusia. Mencintai manusia terdapat prinsip memberi dan menerima (give and receive). Itulah jalan yang ada di dalam jalan hidup manusia. Kita mencintai dan menerima cinta seseorang berarti bersedia memberi kepadanya, karena ia mencintai kita. Demikian pula sebaliknya. Hal ini berbeda dengan mencintai Allah. Kita mencintai Allah, karena Allah patut dicintai.

Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya walaupun kita tidak meminta.

Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah memutuskan cinta-Nya kepada kita, justru kitalah yang melakukannya.

Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah pergi meninggalkan kita, malah kita sendiri yang meninggalkan-Nya.

Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa menunggu kita untuk kembali pada-Nya, walaupun kita telah pergi entah kemana.

Allah adalah Kekasih Sejati yang mendekat kepada kita, melebihi pendekatan kita pada-Nya.

Allah adalah Kekasih Sejati yang selalu memaafkan semua kesalahan yang telah kita lakukan, meskipun itu kesalahan besar, asalkan tidak menyekutukan-Nya.

Allah adalah Kekasih Sejati yang tetap mengampuni seorang anak manusia walaupun telah menduakan-Nya, asalkan bertaubat dan kembali ke jalan-Nya sebelum nyawa sampai di tenggorokan.

Bagaimana mungkin seseorang mencintai dirinya tapi dia tidak mencintai Tuhannya yang telah memberikan segenap karunia di kehidupan ini? Diumpamakan seperti seseorang yang terkena terik matahari, lalu ia bernaung di bawah pohon yang rindang. Kesenangannya pada naungan itu secara otomatis akan membawanya kepada kesenangan akan pohon, karena pohonlah yang memberikan naungan kepadanya.

Setiap makhluk hidup berkaitan dengan kekuasaan Allah, sebagaimana naungan berkaitan dengan pohon dan cahaya berkaitan dengan matahari. Maka sangat tidak masuk akal apabila kita mencintai semua anugerah yang kita nikmati, tetapi tidak mencintai Dzat yang telah memberikan itu semua.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, “Ibadah mengandung dua dasar, yaitu cinta dan penyembahan. Menyembah berarti merendahkan diri dan tunduk. Siapa mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa tunduk tapi tidak cinta, juga tidak dikategorikan orang yang menyembah.”

Dengan penjelasan di atas, bukankah dengan berdzikir kepada Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffâr), hati kita menjadi tentram?

Daftar Pustaka :

*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
*
Anam Khoirul Anam, “Dzikir-dizkir Cinta [Novel Inspiratif Penggugah Religiusitas]”, Diva Press, Cetakan XII : Maret 2007
*
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
*
Habiburrahman El Shirazy, “Ayat-Ayat Cinta [Sebuah Novel Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan XX : April 2007
*
Habiburrahman El Shirazy, “Ketika Cinta Bertasbih 1 [Novel Dwilogi Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan ke-3 : Maret 2007
*
Kathur Suhardi, “Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) – Penjabaran Kongkret Iyyâka na‘budu wa-Iyyâka nasta‘în (terjemah Madârij as-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah)”, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Kedua : Agustus 1999
*
Linna Teguh, MBA, “MT GMG HbH”, 2006
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
*
Syaiful Ulum Nawawi, “Retorika”, Makalah, 1996

Tulisan ini lanjutan dari : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (2 of 5)"
Tulisan ini berlanjut ke : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (4 of 5)"

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (4 of 5)

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (4 of 5)
Setelah mengupas dua metode dzikir, yaitu dzikir dengan pikiran (taffakur) dan dzikir dengan telinga, sekarang mari kita bahas cara berdzikir yang ketiga, yaitu :

c. Dzikir dengan lisan

Dalam syairnya, ‘Aid al-Qarni berpesan :

Perbanyaklah dzikirmu pada-Nya di bumi selalu
Agar engkau disebut di langit kala Dia mengingatmu

Perlu diingat lagi bahwa shalat juga termasuk dzikir. Jika kita diliputi ketakutan, dihimpit kesedihan dan dicekik kerisauan, maka segeralah bangkit untuk melaksanakan shalat, niscaya jiwa kita akan kembali tentram dan tenang. Sesungguhnya shalat itu—atas izin Allah—sangatlah cukup untuk hanya sekadar menyirnakan kesedihan dan kerisauan. Shalat merupakan penyejuk hati dan sumber kebahagiaan. Namun demikian, shalat tidak akan dibahas di sini.

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS Thâhâ [20] : 14)

Dzikir dengan lisan bisa dilakukan dengan membaca Al-Qur’an baik sendiri atau berjamaah secara bergantian (tadarrus). Dari Abu Hurairah ra., Rasululullah Muhammad saw. bersabda :

Bagi kaum yang suka berjamaah di rumah-rumah ibadah, membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan mengajarkannya terhadap sesamanya, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketentraman, akan terlimpah kepadanya rahmat dan mereka akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan selalu mengingat mereka. (HR Muslim)

Pada suatu hari, datanglah seseorang kepada Sahabat Ibnu Mas‘ud ra. untuk meminta nasihat. Orang itu berkata,

“Wahai Ibnu Mas‘ud, berilah nasihat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram, jiwaku gelisah dan pikiranku kusut; makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.”

“Kalau penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu :

1.
Ke tempat orang membaca Al-Qur’an, engkau baca Al-Qur’an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya
2.
Engkau pergi ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah
3.
Engkau cari waktu dan tempat sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah—umpama di waktu tengah malam buta di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati.

Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah agar diberi-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu bukan lagi hatimu,” nasihat Ibnu Mas‘ud.


Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannya nasihat Ibnu Mas‘ud. Dia pergi mengambil wudhu kemudian diambilnya Al-Qur’an, terus dia baca dengan hati yang khusyu‘. Selesai membaca Al-Qur’an, berubahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang tenang dan tentram, pikirannya jernih dan kegelisahannya hilang sama sekali.


Selain dengan membaca Al-Qur’an, bisa juga dengan lafazh-lafazh dzikir yang lain, misalnya tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan istighfar. Kalau sendirian terasa cepat lelah dan rasa malas menghampiri, maka kita bisa berjamaah dalam melakukannya. Lebih baik lagi di bawah bimbingan seorang guru, ustadz atau kyai. Hal ini supaya selain sebagai amalan, kita pun mendapatkan penjelasan atau ilmu tentang apa yang kita baca dalam dzikir. Dengan demikian kita tidak termasuk dalam golongan taqlid buta, hanya ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya.

Jangan sampai kita salah dalam melangkah karena tidak punya ilmu yang benar. Cahaya di ujung terowongan akan kita kira jalan keluar, padahal itu sinar lampu kereta api yang akan menabrak kita. Salah seorang yang mengaku cendekiawan muslim pernah ditanya,

“Apakah kamu mengerjakan shalat?”
“Aku tidak perlu melakukah shalat lagi karena hatiku sudah bersih,” jawabnya.

Lalu dikatakan,
“Mâsyâ Allah, apakah kamu lebih mulia daripada Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya, di mana mereka mengerjakan shalat sampai meninggal dunia. Sungguhkah engkau melebih mereka? Kamu telah melakukan yang tidak pernah mereka lakukan.”

Alhamdulillâh setelah diskusi, orang itu bertaubat dan kembali mengerjakan shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

Ada juga sebagian kelompok yang mengaku diri mereka ahli tasawuf berpendapat, “Siapa yang telah mencapai maqam ma‘rifat (tingkatan mengenal Allah), maka telah diangkat segala kewajiban agama (taklîf) atas dirinya.”

Ketika pendapat ini didengar oleh seorang sufi besar, Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad, ia berkata, “Benar, mereka telah sampai ke neraka Saqar.” Mereka yang salah jalan tersebut berpegang pada firman Allah QS al-Hijr [15] : 99, yang dipahami dengan keliru.


وَٱعْـبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِيْنُ

dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS al-Hijr [15] : 99)

Kata “yang diyakini” (bila terjemahnya tekstual, tidak ada penjelasan “ajal”) pada ayat di atas, ditafsirkan oleh para ahli tafsir (mufassir) dengan kematian, karena ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Terbukti, mereka beribadah kepada Allah sampai datang kematian kepada mereka. Jadi, bukannya setelah yakin kepada Allah lantas kita tidak perlu shalat.


Jika saja mereka berpikir dengan pikiran yang sehat, maka mereka akan mengetahui bahwa ma‘rifatullâh (mengenal Allah) bukanlah akhir sebuah perjalanan, melainkan permulaan perjalanan untuk mencapai hakikat ibadah kepada-Nya. Bagaimana mungkin mereka menjadikan sesuatu permulaan menjadi akhir sebuah perjalanan?


Selain itu, terdapat sebagian kelompok yang menamakan dirinya sebagai aliran batiniah (kebatinan) yang mengaku bahwa diri mereka telah keluar dari sifat-sifat manusia biasa, sehingga mereka tidak dibebani kewajiban-kewajiban syariat seperti manusia lain. Sungguh mereka telah tersesat. Na‘ûdzubillâh min dzâlikum.


Berdzikir secara berjamaah terkadang bahkan seringkali lebih mengena pada diri kita, terutama karena kita adalah orang awam, belum mencapai maqam (tingkatan) yang cukup.


Penulis pernah menghadiri sebuah majelis dzikir. Pada saat sedang membaca kalimat tahlil (Lâ ilâha illâh), tidak dipergunakan pengeras suara—murni suara para jamaah. Ternyata, efek yang timbul dalam diri sungguh berbeda dari biasanya. Suara dzikir para jamaah menyatu padu, menggema, membahana, membumbung tinggi ke angkasa, memanggil-manggil para malaikat untuk turun ke bumi; mengajak semua makhluk—angin, bunga, dedaunan, burung dan semuanya—untuk bersama-sama menyucikan asma Allah; serta mengundang senyum bidadari, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.


Teknik sederhana seperti ini bisa membuat bulu kuduk berdiri, hati bergetar, dan air mata pun tak kuasa lagi tertahan—meleleh membasahi pipi. Masalah yang berat terasa ringan seketika. Bahkan, seolah-olah kita menantang masalah tersebut dengan lantang, sebagaimana ungkapan ‘Aidh al-Qarni :


Membesarlah duhai nestapa, niscaya engkau akan sirna
Malammu telah bertitah pada sang fajar, untuk segera merekah

Tentang majelis dzikir, diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Muhammad saw. bersabda :


إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَّةَ فَارْتَعُوْا بِهَا، قِيْلَ لَهُ : وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ : مَجَالِسُ الذِّّكْرِ

Jika kamu melihat surga, maka merumputlah (bermain-mainlah) di (kebun)nya. Ditanyakan kepada beliau, “Apa itu kebun surga?” Jawab beliau, “Majelis dzikir.” (HR Tirmidzi)


Abu Bakar asy-Syibli mengatakan, “Tidakkah Allah telah berfirman, ‘Aku duduk di sisi orang yang mengingat-Ku. Apa yang kalian peroleh, hai manusia, dari majelis Al-Haqq ini?’ ”


Penjelasan tentang keutamaan majelis dzikir terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. di dalam kitab “Al-Lu’lu’ wal-Marjân – fî mâ Ittafaqa ‘Alayhi asy-Syaykhân” bab Fadhilah Majelis Ahli Dzikir.


Sesungguhnya ada malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari majelis ahli dzikir; maka bila bertemu dengan kaum yang sedang berdzikir mengingat Allah, mereka masing-masing berseru,
“Mari ke sini, inilah hajatmu!”

Lalu para malaikat itu mengerumuni dan menaungi majelis itu dengan sayap mereka hingga langit dunia. Mereka ditanya oleh Tuhan, padahal Tuhan lebih mengetahui,
“Apa yang dibaca oleh hamba-Ku?”
Malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid dan mengagungkan Engkau.”

Ditanya, “Apakah mereka melihat Aku?”
Malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah. Mereka belum pernah melihat-Mu.”

Ditanya, “Lalu bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?”
Malaikat menjawab, “Andaikan mereka melihat pada-Mu, niscaya lebih giat ibadah mereka, dan lebih banyak tasbih mereka.”

Ditanya, “Apa yang mereka minta?”
Malaikat menjawab, “Minta surga.”

Ditanya, “Apakah mereka telah melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Demi Allah, mereka belum melihatnya.”

Ditanya, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Pasti akan lebih giat usaha perjuangan dan keinginannya.”

Ditanya, “Apa yang mereka takutkan dan minta perlindungan?”
Malaikat menjawab, “Mereka berlindung kepada-Mu dari api neraka.”

Ditanya, “Apakah mereka telah melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Belum, demi Allah. Mereka belum melihatnya.”

Ditanya, “Andaikan mereka dapat melihat pasti akan lebih jauh larinya dan rasa takutnya.”
Maka Allah berfirman, “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.”

Seorang malaikat berkata, “Di majelis itu ada Fulan dan bukan golongan majelis itu. Dia datang karena ada kepentingan (hajat).”

Maka firman Allah, “Mereka adalah rombongan majelis, yang tidak akan kecewa siapa yang duduk bersama mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)


Begitu utamanya majelis dzikir sehingga muncul sebuah pertanyaan, “Apakah majelis ilmu termasuk majelis dzikir?”

Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc—pengasuh rubrik Syariah dan Kehidupan di Warna Islam—menjelaskan bahwa sesuai dengan makna bahasa, yang disebut dengan majelis adalah tempat di mana orang-orang duduk berkumpul. Adapun makna dzikir secara bahasa adalah mengingat. Namun secara istilah, dzikir seringkali diidentikkan dengan ucapan lafazh di lidah dengan niat ibadah.


Oleh karena itu, secara umum majelis dzikir seringkali oleh para ulama dimaknai sebagai majelis yang dihadiri oleh orang banyak untuk melakukan dzikir di lidah. Hujjah bahwa yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah dzikir dengan lisan banyak sekali, sebab di Al-Qur’an pun tidak selalu kata dzikir dikaitkan dengan ilmu. Banyak ayat menyebutkan kata dzikir dalam arti dzikir dengan lisan, misalnya :


laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah. (QS al-Ahzâb [33] : 35)

Ada sebagian ulama memaknai kata “majelis dzikir” bukan sebagai majelis untuk berdzikir secara lisan, tetapi majelis tempat diajarkannya ilmu agama. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan orang awam bertanya kepada orang berilmu, yang di dalam Al-Quran disebut ahludz-dzikri.


maka bertanyalah kepada ahludz-dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui. (QS an-Nahl [16] : 43)


Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata tentang ahludz dzikri, “Ahludz dzikri adalah orang yang paham tentang apa-apa yang diturunkan Allah kepada para Nabi.”


Atha’ bin Abi Rabah (wafat 114 H) menjelaskan, “Majelis dzikir adalah majelis ilmu—majelis yang mengajarkan halal dan haram, bagaimana membeli dan menjual, bagaimana berpuasa, belajar tata cara shalat, menikah, thalaq (cerai) dan haji.”


Asy-Syathibi menerangkan, “Majelis dzikir yang sebenarnya adalah majelis yang mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syar‘i (agama), mengingatkan umat tentang sunnah Nabi agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid‘ah agar umat berhati-hati terhadapnya dan menjauhinya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya.” Demikianlah pendapat-pendapat tentang majelis dzikir. Walâhu a‘lam.


Berdzikir kepada Allah akan lebih mantap di hati apabila kita berusaha mengenal-Nya. Tanpa mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, seseorang bisa bersikap keliru dan menghilangkan optimisme. Untuk manusia saja, bagaimana mungkin kita akan mantap menyebut nama seseorang jika kita tidak mengenalnya?


Ketika Rasulullah saw. memulai dakwah, yang pertama beliau lakukan adalah memperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa, sambil meluruskan kekeliruan dan kesesatan masyarakat Jahiliyah. Perintah iqra’ pun (wahyu pertama) mengandung pengenalan kepada Allah dalam perbuatan dan sifat-sifat-Nya.


Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS al-‘Alaq [96] :1)


Selanjutnya silih berganti ayat turun mengarahkan manusia mengenal Tuhan, antara lain dengan anjuran untuk memperhatikan alam raya dan fenomenanya yang sedemikian teratur dan teliti, mengamati manusia sejak lahir hingga mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta mempelajari sejarah dengan segala dampak baik dan buruknya.Untuk mengenal Allah, selain dengan cara di atas, juga bisa dengan mempelajari Asmaul Husna. Sudah banyak buku yang membahas Asmaul Husna, baik oleh ulama tanah air maupun manca negara dalam bentuk terjemahan. Oleh karena itu penulis tidak akan mengulasnya lebih lanjut.

Daftar Pustaka :

*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
*
Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
*
http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1193876915

Tulisan ini lanjutan dari : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (3 of 5)"
Tulisan ini berlanjut ke : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (5 of 5)"

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (5 of 5)

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (5 of 5)
Sekarang kita telah sampai pada pembahasan akhir tentang metode berdzikir kepada Allah. Teknik berdzikir yang terakhir, yaitu :

d. Dzikir dengan hati

Sebenarnya setiap dzikir memang harus disertai dengan hadirnya hati. Namun, yang dibahas di sini adalah teknik berdzikir bukan menggunakan anggota-anggota badan seperti disebutkan di atas, tapi di dalam hati.

Dzikir di dalam hati (tanpa melibatkan lisan) bisa dilakukan dalam setiap nafas. Kita bernafas dengan tenang dan teratur, pada saat menghirup udara berdzikir “Allâh”, sedangkan ketika mengeluarkan nafas lafazh dzikirnya “Huwa” (biasanya di-waqaf-kan, sehingga dibaca “Hû”, bacaan panjang). Seringkali bacaan panjang ini diabaikan oleh sebagian dari kita, sehingga kesannya seperti orang habis makan cabe yang sangat pedas. Bunyi dzikirnya terdengar “Hu, hu, hu, hu...”

Sebaiknya hal itu tidak kita lakukan, karena kita menyebut asma Allah Yang Maha Pemberi/Pemilik Cahaya (An-Nûr). Bukankah kita berharap agar hati kita senantiasa tercurahkan oleh cahaya-Nya? Memang dari segi hukum tetap sah, asalkan niatnya benar bahwa isim dhomir (kata ganti) “Huwa” menunjukkan Allah, hanya saja bacaannya kurang sempurna karena tidak dibaca panjang. Namun, apakah sopan apabila dengan tergesa-gesa kita menyebut Dzat yang menciptakan kita? Bukankah menyebut nama presiden saja harus dengan hormat? Apalagi menyebut asma Beliau Yang Maha Raja/Maha Berkuasa (Al-Malik). Berdzikir harus disertai sikap tawadhu‘ dan pengharapan penuh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun (Al-Ghafûr).

Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat tentang anugerah Allah berupa nafas, “Setiap tarikan nafas yang dihembuskan, di dalamnya ada ketentuan Allah. Jangan kosongkan hati dari mengingat Allah, sebab dapat memutuskan murâqabah (pengawasan) anda dari hadirat-Nya. Janganlah keheranan karena terjadinya hal-hal yang mengeruhkan jiwa, karena itu sudah menjadi sifat dunia selama anda berada di dalamnya.”

Di dalam perjalanan hidup anak Adam di permukaan bumi ini, tidaklah seorang hamba terlepas dari problema yang berlaku pula bagi manusia lainnya. Setiap tarikan nafas anak Adam menjadi pertanda bahwasanya persoalan-persoalan yang sama selalu berulang. Hal ini karena segala yang sudah, sedang dan akan terjadi berjalan di atas rencana Allah jua. Dan semua ketetapan dan rencana Allah berlaku untuk setiap orang, di mana kita berada di dalamnya. Tugas hamba Allah dalam mengikuti rencana-Nya, tidak lain adalah menaati hukum-Nya serta mengikuti takdir-Nya dengan hati ridha dan sabar, setelah bekerja keras dengan cara yang cerdas.

Bila kita menginginkan agar jumlah bilangan dzikir lafzhul Jalâlah lebih banyak, maka dzikir di di dalam hati ini bisa diselaraskan sesuai detak jantung (qalb); dengan lafazh dzikir hanya “Allâh” atau “Huwa”. Bila kita senantiasa berdzikir kepada Allah, niscaya Allah juga berdzikir (ingat) kepada kita, di dunia ini dan terutama di akhirat kelak.

فَاذْكُرُوْنِيۤ أَذْكُرْكُمْ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. (QS al-Baqarah [2] : 152)

KH. Asrori al-Ishaqi—pengasuh Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah menasihatkan agar pada saat dzikir sirri (di dalam hati), lidah kita ditekuk ke atas kemudian ditempelkan ke langit-langit rongga mulut. Ini untuk melatih kita pada saat ajal akan menjemput (sakaratul maut). Pada situasi itu, tenggorokan akan terasa sangat kering dan lidah begitu ngilu sehingga seakan tidak bisa digerakkan. Menjelang kematiannya, setiap orang akan melakukan kebiasaan selama hidup.

Supaya kita husnul khâtimah, maka harus dilatih mulai sekarang. Memang, saat kita segar-bugar, hal itu terasa ringan. Namun, akan sangat berbeda bila sang malaikat pencabut nyawa—‘Izrail—sedang berada di hadapan kita. ‘Izrail akan terlihat sangat tampan bila amal ibadah kita baik, namun sungguh mengerikan bila kita bukan orang yang bertakwa.

Agar mendapat pertolongan-Nya ketika ajal menjelang, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :

اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا ِفيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

Ya Allah, mudahkanlah bagi kami ketika sakaratul maut, amin.

Daftar Pustaka :

*
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
*
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”

Tulisan ini lanjutan dari : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (4 of 5)"

Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2)

Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2)

Dalam banyak kesempatan, kita menyatakan diri sebagai hamba Allah. Dulu, jika orang mau menyumbang tapi tak ingin diketahui namanya, ditulis dengan NN (No Name). Saat ini, kita menggantinya dengan “hamba Allah”. Tujuan awalnya memang untuk menghindari riya’.

Tapi, perkataan seperti itu bisa membuat diri kita pamer kepada orang lain bahwa kita ini orang shaleh. Kalau kita menyumbang ke suatu badan amal, yayasan atau yang lain, kita bisa tergoda untuk mengatakan dengan sefasih dan semantap mungkin, “Nama saya tidak perlu ditulis. Tulis saja dari hamba Allah.”

Berdasarkan ilmu tajwid, lafazh “Allah” dibaca tafkhîm (tebal) karena lam Jalâlah didahului fathah. Kalau memang itu yang kita lakukan—kita mengucapkan lafazh “Allah” semantap mungkin supaya terlihat seperti orang alim—apakah benar kita ini hamba-Nya? Marilah kita lihat apakah kita memang hamba Allah atau bukan.


Katakanlah kita mempunyai seorang tetangga sekaligus teman, yang dari segi harta dan pekerjaan tidak seberuntung kita. Karena dia teman kita, jika dia minta pertolongan, seketika itu juga kita membantunya. Bahkan kadang kala kita menawarkan diri untuk sedikit meringankan tugas dia, jika dia terlihat tidak bisa menyelesaikannya. Semua itu kita lakukan tanpa pamrih, kita benar-benar mengikhlaskan semuanya.


Dua tahun berlalu dan selama itu pula kita selalu melakukan yang dimintanya. Suatu hari, kendaraan kita sedang bermasalah. Karena buru-buru ingin ke kantor mengingat jam sudah menunjukkan pukul 07.30, kita minta diantarkan dia yang kebetulan sedang mendapat jadwal shift sore (15.00–23.00) di pabriknya. Kala itu dia sedang santai minum kopi hangat sambil membaca koran dan menikmati pisang goreng.


Ternyata, dia tidak mau mengantarkan kita. Dia malah berkata, “Kamu ini mengganggu orang saja. Tidak lihat apa, aku sedang menikmati sejuknya pagi. Minggu ini kan aku shift sore, jadi aku masih ingin istirahat. Kamu kan punya uang, naik taxi saja!”


Nah, apakah di dalam hati, kita tidak akan mengingat-ingat pertolongan kita padanya selama ini? Ataukah, kita berkata pada diri sendiri, “Dasar orang tidak tahu membalas budi! Awas, ya… Jangan harap aku akan menolongmu lagi!”


Jika kita masih mengingat kebaikan kita padanya, atau meminta balas budi darinya, apakah pantas kalau kita menyebut diri sebagai hamba Allah? Sedangkan pengertian hamba adalah orang yang melakukan sesuatu semata-mata untuk tuannya, tak ada urusan dengan orang lain.


Penulis pernah mendengar di sebuah acara radio, ada seseorang mengadukan keadaannya pada nara sumber. Dua tahun sebelumnya, ada pegawai baru di departemennya. Karena ingin berbuat baik, maka pegawai baru ini dibimbing, diberi arahan dan selalu dibantu. Memang dasarnya anak cerdas, pegawai baru tersebut naik pangkat dengan cepat. Masalahnya, sekarang ini jadi saingan, bahkan tega menjatuhkan sang mentor (penelpon) yang telah membimbingnya. Pegawai baru itu sekarang jadi musuh si penelpon. Si penelpon merasa sakit hati karena dulu dialah yang menolong. ‘Aidh al-Qarni menggambarkan peristiwa seperti ini dalam bait syairnya :


Tetapi sifat ini kadang kala justru terbalik, sahabat dijadikan musuh!
Aku ajari dia memanah setiap hari
Ketika lengannya menjadi kuat, ia malah memukulku
Betapa banyak aku ajarkan padanya bait-bait syair
Ketika ia mampu membuat syair, ia menyerangku


Nah, kalau kita berada di posisi si penelpon, apakah kita juga sakit hati? Kalau benar kita sakit hati karenanya, berarti kita tidak ikhlas menolongnya. Dalam hati, sebenarnya kita berharap agar suatu saat pegawai baru itu menolong kita. Apakah pantas kalau kita menolong orang lain, lalu kita berharap suatu saat dia juga membantu kita, kemudian dengan keyakinan penuh kita mengatakan bahwa kita hamba Allah?
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
(QS az-Zumar [39] : 2-3)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
(QS al-Bayyinah [98] : 5)

Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
(QS al-Insân [76] : 9-10)

Rasulullah saw. bersabda :

ثَلاَثٌ لاَيَغُلُّ عَلَيْهِمْ قَلْبُ مُسْلِمٍ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ تَعَالَى، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ

Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu keikhlasan amal karena Allah SWT, saling menasihati dalam penguasaan masalah dan tetapnya jamaah umat Islam. (HR Ahmad)

Semua benda berpotensi dapat ternoda oleh benda lainnya. Jika benda itu bersih serta terhindar dari kotoran dan noda, maka disebut dengan khâlish (benda yang bersih) dan pekerjaan untuk membersihkannya disebut ikhlâshan. Bersihnya (khulush) susu dari hewan ternak adalah apabila tidak dicampuri oleh darah, kotoran atau sesuatu yang dapat mencampurinya.

Ikhlas adalah penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. Ikhlas adalah ruh amal, dan amal menunjukkan tegaknya iman.

Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu yang lain, atau karena menolak bahaya yang akan menimpa dirinya, maka ia belum menunaikan tugasnya terhadap Allah sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Ada beraneka ragam jenis amal menurut situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangkanya adalah perbuatan yang jelas, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.”

Imam Al-Qusyairi menasihatkan, “Ikhlas adalah penunggalan (peng-Esa-an) Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Ketaatan harus dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna yang lain selain pendekatan diri pada Allah.”

Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran (shidiq) dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.”

Lebih lanjut, al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”

Abu Ya‘qub as-Susi membahas ikhlas lebih dalam lagi. Dia berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.” Artinya, kita tidak boleh memandang amal kita dengan pandangan apa pun. Seringkali kita berkata, “Saya melakukan ini dengan ikhlas, koq.” Perkataan ini menurut Abu Ya‘qub as-Susi bisa dikategorikan belum ikhlas.

‘Aidh al-Qarni berpesan, “Jangan mengharap terima kasih dari seseorang. Tabiat untuk mengingkari, membangkang dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang lazim menimpa jiwa manusia. Karena itu, Anda tak perlu heran dan resah bila mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah Anda berikan, juga mencampakkan budi baik yang telah Anda tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah Anda persembahkan. Bahkan, tak usah resah bila mereka sampai memusuhi Anda dengan sangat keji dan membenci Anda sampai mendarah daging, dan semua itu mereka lakukan setelah Anda berbuat baik kepada mereka.”

“Anda tidak perlu terkejut manakala menghadiahkan sebatang pena kepada orang bebal, lalu ia memakai pena itu untuk menulis cemoohan kepada Anda. Anda juga tak usah kaget bila orang yang Anda beri tongkat untuk menggiring domba gembalaannya justru memukulkan tongkat itu ke kepala Anda. Jangan pernah resah dan gundah ketika ‘tangan putih’ yang Anda ulurkan dibalas dengan tamparan menyakitkan. Itu semua adalah watak dasar manusia yang selalu mengingkari dan tak pernah bersyukur kepada Penciptanya sendiri Yang Maha Agung nan Mulia. Begitulah, kepada Tuhannya saja mereka berani membangkang dan mengingkari, apalagi kepada saya dan Anda.” Demikianlah kata ‘Aidh al-Qarni melanjutkan nasihatnya.

Daftar Pustaka :

*
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
*
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
*
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
*
Muhammad Basori Alwi Murtadho, Kyai, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993

Tulisan ini berlanjut ke : "Benarkah Kita Hamba Allah? (2 of 2)"

Benarkah Kita Hamba Allah? (2 of 2)

Benarkah Kita Hamba Allah? (2 of 2)
Di tulisan sebelumnya, “Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2)” sudah kita bahas permasalahan sehari-hari yang kita jumpai dan alami untuk mengetes diri kita.

Sekarang, marilah kita tanya diri sendiri apakah kita adalah hamba Allah? Kita memang berhak mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah. Pertanyaan yang harus kita ajukan lagi adalah, “Apakah Allah juga mengakui bahwa kita adalah hamba-Nya?” Contoh sederhana, kita bisa saja mengatakan bahwa kita adalah keluarga Presiden. Namun, apakah Presiden mengakui bahwa kita adalah keluarganya? Seorang penyair mengatakan:

كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِِلَيْلَى * وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لََهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan dengan si jelita Laila
Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka

Lalu, siapakah hamba Allah itu?

Hamba Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuannya.

Hamba Allah adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di mana pun dia berada.

Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani Pemiliknya dengan hati yang ridha.

Bagi hamba Allah, apa pun yang terjadi, hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Empunya. Apa saja perlakuan orang lain, bagi hamba Allah, itu adalah pemberian yang indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau dendam pada sesama, karena bagi dia semua itu antara dia dengan Allah. Orang lain dan semua yang ada hanyalah hiasan semata, untuk menguji apakah dirinya tetap berorientasi pada tujuannya atau tidak.

Bagi hamba Allah, hidup ini ibarat sebuah perjalanan untuk menuju tujuan yang mulia, pertemuan yang indah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang ditemui di tengah jalan adalah kembang perjalanan, keindahan sementara, fatamorgana dan maya—bukanlah hakikat perjalanan itu sendiri.

Bagi hamba Allah, cakrawala boleh melengkung ke bawah, tapi bibir hamba Allah akan tetap melengkung ke atas, menyungging sebuah senyuman :-).

Bagi hamba Allah, hanya kepada-Nya ia menyembah dan hanya kepada-Nyalah memohon pertolongan.

إِيَّاكَ نَعْـبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْـتَعِيْنُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fâtihah [1] : 5)


Di ayat tersebut, lafazh iyyâka (hanya kepada Engkau) sebagai kata yang mengandung makna penentu, bukan lafazh na‘budu (kami menyembah pada-Mu).

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah perjanjian sakral yang diikrarkan oleh seorang muslim di setiap rakaat shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Dengannya, jiwa selalu terpaut dengan perjanjian agung itu. Demi janji itu manusia diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, surga dan neraka diciptakan, jalan menuju surga (ash-shirâth) dibentangkan, neraca amal perbuatan ditegakkan, para makhluk dibangkitkan dari kubur, amal perbuatan diperhitungkan, catatan amal diperlihatkan dan para saksi dihadirkan.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kebahagiaan yang kekal dan keselamatan abadi. Dengannya, kebenaran dan kemenangan terwujud, segala persoalan menjadi mudah, dan kejahatan terhindarkan. Tiada seorang pun mendapat ridha, rahmat, pengampunan, pertolongan, hidayah dan kekuatan dari Allah kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”. Anugerah tak dapat diraih, nestapa tak dapat ditolak, kerusakan tak dapat dihindarkan, bencana dan fitnah tak dapat dicegah, kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kalimat yang akan menjadi pemelihara orang yang merealisasikan makna yang terkandung di dalamnya dari ketergelinciran, kebingungan, kesia-siaan beragama, kehampaan pemikiran, kesesatan pengetahuan, kedunguan moral dan kemerosotan pribadi.

Dalam kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în” tersimpan pemeliharaan dan pertolongan Ilahi, serta perwalian iman dan berkah Al-Qur’an. Berkat kalimat ini, seorang muslim menjadi orang yang berpribadi kuat, berhati terang, berjiwa muthmainnah, berdada lapang dan berpikiran cerah. Ini semua karena ia telah menjalin hubungan langsung dengan Allah, masuk ke dalam nasab ubudiyah, mengenakan mahkota penghambaan kepada Yang Maha Esa, tempat bergantung semua makhluk.

Dengan kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”, jiwa manusia dibersihkan dari kehampaan, hati disucikan dari kemunafikan, amal perbuatan dari riya’, lisan dari ucapan dusta, mata dari pemandangan yang dilarang, dan dari tindakan sewenang-wenang

Bila kita mengaku beriman dan ingin diakui sebagai hamba oleh Allah, maka kita harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُتْرَكُـۤوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَـنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَـنُوْنَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-‘Ankabût [29] : 2)

Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS al-‘Ankabût [29] : 3)

Siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût [29] : 5)

Rasulullah Muhammad saw. bersabda :

إِذَا سَـبَقَتْ ِللْعَبْدِ مِنَ اللهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا ِبعَمَلِهِ ابْتَلاَهُ اللهُ فِيْ جَسَدِهِ أَوْ فِيْ مَالِهِ أَوْ فِيْ وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِيْ سَـبَقَتْ لَهُ مِنْهُ

Jika telah ditetapkan bagi seorang hamba suatu kedudukan yang tidak dapat dicapai dengan amalnya, maka Allah menimpakan cobaan terhadap diri, kekayaan atau anaknya, kemudian Dia menjadikannya bersabar dalam menghadapinya sehingga dia pun mencapai kedudukan yang telah ditetapkan kepadanya. (HR Ahmad)

Ada banyak ragam ujian yang bisa diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Berikut ini penulis ilustrasikan salah satu jenis ujian sebagai gambaran. Intinya, untuk mengetahui apakah kita lulus dalam ujian itu atau tidak, apakah kita benar-benar menghamba kepada Beliau Yang Memiliki kita atau tidak, apakah dalam hidup ini yang ada hanya kita dengan Allah atau masih ada yang lain, yang tersangkut di dalam hati.

Namun, kita tidak perlu bersedih hati. Seumpama ujian, ada yang lulus dengan nilai cukup, baik atau sempurna. Memang, kesempurnaan hanyalah milik Allah, namun nilai sempurna yang dimaksud di sini adalah nilai 100 untuk sebuah ujian. Yang belum lulus pun, ada bertingkat-tingkat. Ibarat sebuah penilaian, ada yang mendapat A (sempurna), B (baik), C (cukup), D (kurang), E (gagal), dan F (tidak ikut, mangkir atau menghindari ujian).

Akan datang sebuah masalah sebagai ujian bagi kita. Akan terlihat apakah kita menempuh cara-cara yang diridhai-Nya atau tidak. Jika bisa menyelesaikan masalah pertama ini karena ilmu dan pengalaman kita, maka akan datang permasalahan kedua. Di ujian kedua, ilmu dan pengalaman kita tidak akan berarti, tidak bisa diandalkan untuk mengatasinya. Mungkin kita bisa lolos dari ujian kali ini dengan harta kita. Dengan harta kita, kita bisa membeli dan membelanjakannya untuk menyelesaikan tingkat dua dari masalah yang kita hadapi.

Karena kita sudah naik tingkat, maka akan ada ujian ketiga. Di kasus yang menimpa kali ini, ilmu, pengalaman dan harta kita tidak akan banyak membantu. Semuanya terlihat rumit, serumit kalau kita sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Kondisi jiwa terasa berat, seperti puisi Ibnu Hazm :

Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, air mata meleleh di pipi
Kala lara menderita hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi air mata kan mengalir lama
Derasnya aliran air matamu adalah tanda
Kesedihan yang kau rasakan betapa beratnya

Di sini, kita diuji apakah kita tetap menempuh jalan yang baik atau tidak. Karena usaha keras kita, mungkin ada teman lama, sahabat, saudara, kerabat jauh, relasi, konsultan atau jaringan kita yang lain yang membantu menyelesaikannya. Dan, selesailah ujian tahap ketiga ini.

Kita sudah naik kelas. Di tahap ini, kita akan menerima persoalan yang jauh di atas sebelumnya. Ilmu, pengalaman, harta, teman, sahabat, saudara, relasi, konsultan dan semuanya tak banyak artinya. Kita seolah menemui jalan yang benar-benar buntu, tak terlihat oleh kita sedikit pun celah untuk dapat melaluinya. Semua usaha sepertinya sudah kita lakukan, semua doa rasanya sudah kita panjatkan. Namun hasilnya, tak seperti yang kita harapkan. Pada kondisi inilah kita sungguh diuji, apakah kita hamba Allah atau bukan.

Kalau kita memang hamba Allah, kita akan bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui kehambaan kita. Kita nyatakan pada-Nya bahwa kita adalah milik-Nya. Tak satu pun ilmu, harta atau keluarga adalah milik kita. Bahkan nyawa kita pun milik-Nya. Semua milik-Nya semata. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).

Kita adalah orang fakir di hadapan-Nya, tak memiliki apa-apa selain pemberian-Nya. Kita akan ridha dan bahagia terhadap apa pun yang diberikan-Nya pada kita. Tak ada lagi yang membuat hati kita sedih, karena hati kita sudah terisi akan cinta kepada-Nya. Cinta yang agung, tulus, dan indah. Apa pun yang ditakdirkan untuk kita, itu adalah hadiah dari Dzat yang kita cintai sepenuh hati. Tak akan ada lagi penderitaan yang bisa membuat kita galau dan resah.

Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat kepada kita, “Nyatakan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, pasti Allah akan memberimu pertolongan dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya. Akuilah kehinaanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah semua kelemahanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan keagungan, kemampuan dan kekuatan-Nya.”

Melanjutkan nasihatnya, Ibnu Athaillah berkata, “Tidak ada yang dapat menyegerakan suatu permohonan kecuali keadaan yang amat sulit. Tiada satu pun yang dapat mempercepat datangnya karunia dari Allah kecuali dalam keadaan merendahkan diri dan dalam keadaan fakir.”

وَإِلىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS al-Insyirâh [94] : 8)

Harapan-harapan besar tiada dimiliki kecuali oleh Allah semata. Di tangan-Nyalah terletak kunci segala persoalan. Beliau-lah yang berhak untuk dipinta, diharap dan dituju. Hanya kepada-Nya kita persembahkan asa, harapan dan rasa takut. Hanya kepada-Nya kita mengangkat kedua tangan, berdoa dengan sepenuh hati, penuh iba dan tetesan air mata.

Kalau itu yang kita lakukan—kita tetap pada kehambaan kita—maka akan ada jalan keluar bagi tiap kesulitan. Bukankah sudah ada dua kali jaminan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan? Itu berarti, satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan, dan itu juga berarti bahwa bersama satu kesulitan terdapat dua jalan kemudahan yang berbeda.

Ketika malam sudah semakin kelam
Itu pertanda sang fajar akan merekah
Tatkala tali-temali yang mengikat tubuh kita semakin meregang kencang
Itu artinya tali-tali itu akan segera putus
Saat awan sudah semakin gelap
Itu tandanya hujan akan turun dan pelangi akan menghiasi angkasa
(karya ‘Aidh al-Qarni)

Abu Ali ibn Asy-Syibl berpesan, “Dengan menjaga nafsu, akan ada di dalamnya seperti bara api yang tetap dinyalakan di dalam mangkuk. Maka jangan kau padamkan dia dengan putus asa, dan jangan pula kau ulur dengan angan yang memanjang. Berjanjilah kepadanya bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan, dan ingatkan pula bahwa kesulitan itu berada dalam kemudahan. Dihitung kebaikannya ini dan itu, dan dengan menggabungkan semuanya akan berguna sebagai obat mujarab.”

Ketika Nabi Musa as. beserta kaumnya sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukan; di depan terhampar lautan luas membentang siap menenggelamkan, di belakang ada tentara Fir‘aun mengejar menghunus senjata siap membunuh—tatkala jalan sudah buntu—turunlah pertolongan Allah, “Musa, pukullah lautan itu!” Laut pun terbelah, tersibak bak sebuah buku raksasa yang sedang terbuka. Nabi Musa dan pengikutnya pun selamat atas pertolongan Allah.

Maka Fir‘aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita telah benar-benar akan tersusul.”

Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.

Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.

Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.

Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
(QS asy-Syu‘arâ’ [26] : 60-68)

Mengakui dengan tulus kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya kepada para hamba-Nya, Ibnu Hazm al-Andalusi mengungkapkan :

Duhai, semua itu kembali kepada-Nya
Semua adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya
Dia tunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya
Lewat para nabi dan rasul utusan-Nya
Lihatlah kekuasaan-kekuasaan-Nya

Di tangan Nabi Shaleh yang mulia
Dari batu muncul seekor unta betina
Mereka lihat wujudnya dan dengar suaranya
Di tangan Nabi Musa yang mulia
Laut terbelah dengan sangat mudahnya
Menjadi jalan keselamatan menuju seberang sana

Ibrahim kekasih-Nya selamat dari api yang membara
Api yang merah panas menyala, dirasanya dingin saja
Nabi Nuh dan seluruh pengikut setianya
Selamat dari amukan bandang dan topan luar biasa
Kepada Sulaiman, Dia tundukkan jin dan manusia
Semua orang dan binatang tunduk dalam kerajaannya
Semua bahasa ia bisa, bahasa burung pun dikuasainya

Pada saat orang-orang yang beriman dan rasul-Nya sudah tidak mengerti apa yang harus diperbuat; harta, saudara, ilmu dan pengalaman mereka sudah tidak bisa diandalkan; mereka merintih, meratap, menangis dan berdoa, “matâ nashrullâh (Bilakah datangnya pertolongan Allah)?” Saat itulah jawaban disampaikan, alâ inna nashrallâhi qarîb (Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat).”

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah [2] : 214)

Bagi orang-orang yang benar-benar mengakui kehambaannya di sisi Allah, tidak akan ada ketakukan dan kesedihan, walaupun maut di depan mata. Malaikat akan menghibur mereka, surga pun sudah disiapkan, para bidadari sedang berbaris bersiap menyambut kedatangan hamba Allah dengan senyum indahnya, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat [41] : 30)

Mungkin kita akan bertanya, “Logikanya bagaimana? Kok bisa orang yang mengakui kehambaannya kepada Allah tidak akan merasakan kesedihan walaupun penderitaan sedang dialaminya? Ah, itu semua kan dogma dan sepertinya tidak masuk akal!”


Baiklah, mari kita bicara logika, karena akal memang diciptakan untuk menguatkan iman agar tertanam kuat di dalam hati kita—seperti pondasi rumah yang sangat kokoh.

Jika seseorang sudah mengakui bahwa dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya, maka dia akan sadar bahwa dirinya fakir (gelandangan), tidak punya apa-apa, sebagaimana keadaannya waktu bayi.

Bagi seorang gelandangan, tidak ada yang disebut kehilangan, karena memang dia tidak memiliki apa pun.

Bagi seorang gelandangan, tidaklah merisaukan hati dan membebani pikiran, meskipun harus melewati panasnya jalan, gunungan sampah dan lautan lumpur.

Bagi seorang gelandangan, kemiskinan adalah baju kehidupan, sedangkan kekurangan adalah selimut dunia.

Bagi seorang gelandangan, tidak disebut penderitaan walaupun harus memungut sisa makanan yang dibuang di pinggir jalan.

Bagi seorang gelandangan, kelaparan adalah pembersihan tubuh dari sumber penyakit, dan kehausan adalah rasa yang disyaratkan untuk menikmati segarnya setetes embun dan seteguk air.

Bagi seorang gelandangan, itu semua sudah seperti udara yang dia hirup, sudah kebiasaan sehari-hari.

Istilah ilmiah sekarang, EQ (Emotional Quotient) atau disebut juga EI (Emotional Intelligence) dan SQ (Spiritual Quotient) seorang hamba Allah sudah mencapai tingkat tertinggi (mumpuni).

Kebanggan menjadi hamba Allah diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya :

Yang menjadi kemuliaan dan kebanggaanku
Dan yang membuat kakiku menginjak bintang kejora
Adalah sebab aku termasuk dalam panggilan-Mu, “Wahai Hamba-Ku”
Dan Engkau menjadikan Muhammad sebagai Nabiku


Daftar Pustaka :

*
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
*
Ibnu Hazm al-Andalusi, asy-Syaikh, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
*
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
*
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”

Mengingat Mati, Perlukah? (1 of 2)

Mengingat Mati, Perlukah? (1 of 2)
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa masalah bukanlah fokus yang perlu dikuatirkan. Sikap kitalah yang harus diperhatikan. Kualitas kita ditentukan oleh bagaimana kita menyikapi masalah yang terjadi.

Adi W. Gunawan, seorang re-educator dan mind navigator, memberikan contoh yang sangat gamblang tentang sebuah masalah namun menyikapinya secara berbeda.

Jika kita berkendaraan di jalan raya, lalu tiba-tiba ada sopir angkutan umum menyalip dan berhenti agak mendadak demi mendapatkan penumpang, apa reaksi kita?

Kalau kondisi kita sedang bahagia, misalnya kita mendapat hadiah promo dari sebuah produk sebesar Rp 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah), maka kita tidak akan marah. Kita malah akan berkata, “Kasihan sopir itu, demi mengejar uang receh, dia harus banting tulang. Menyetir pun seperti terburu-buru dengan mata selalu awas, barangkali ada penumpang yang akan menambah rejeki. Maklumlah, ekonomi lagi sulit. Ada baiknya saya menyumbangkan sedikit rejeki yang saya dapat buat bang sopir.”

Namun, jika keadaan kita sebaliknya, apalagi sedang ada masalah, pastilah kita akan tersinggung. Kita akan marah bukan kepalang, mengomel tiada henti, kurang golèk–entèk ngapèk (istilah Jawa, artinya kalau kekurangan kata, dicari sampai ke dasar otak. Jika kehabisan kata, ambil dari sana-sini supaya tetap bisa marah).

Begitu pun dengan mengingat mati. Jika kita kurang tepat menyikapinya, maka hidup akan terasa tiada guna. Kita akan menjadi malas, tidak bersemangat, ogah-ogahan, makan terasa duri, minum berasa garam, tidur tak nyenyak dan mengerjakan apa pun seolah tak ada arti.

Sebaliknya, jika pikiran kita positif menerimanya, justru efeknya sangat besar dan kita akan bersemangat.

Mengingat mati membuat kita bertekad melakukan apa pun yang sedang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya, karena kita ingin meninggalkan sesuatu yang berharga setelah kematian kita.

Mengingat mati menuntut kita untuk selalu dalam kebaikan, karena kita sadar bahwa kita bisa meninggal sewaktu-waktu

Mengingat mati menjadikan kita bersemangat dalam pelayanan kepada orang lain. Dengan berbuat baik kepada sesama, kita akan tetap hidup dalam kematian kita. Bukankah amal jariyah adalah salah satu hal yang tidak akan terputus, walaupun kita sudah berpulang ke rahmatullah?

Mengingat mati berakibat positif terhadap pola pikir dan perilaku kita. Kita akan senantiasa berpikir positif (husnuzh zhan) karena kita tahu tiada guna berpikir negatif. Kita juga akan selalu santun, anggun serta ramah terhadap sesama.

Mengingat mati akan mendorong kita semakin khusyu‘ dalam beribadah, karena kita tahu bahwa hidup kita tidak lama lagi.

Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤئِقَـةُ ٱلْمَوْتِ


Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
(QS al-‘Ankabût [29] : 57)

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
(QS an-Nisâ’ [4] : 78)

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS al-Munâfiqûn [63] : 11)

Rasulullah Muhammad saw. bersabda :

أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَـوْتَ

Perbanyaklah mengingat penghancur aneka kelezatan—maksudnya mati.
(HR Tirmidzi)

مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ. فَقَالَتْ عَاِئشَةُ أَوْ بَعْضُ أَزْوَاجِهِ : إِناَّ لَنَكْرَهُ الْمَوْتَ. قاَلَ : لَيْسَ ذَاكِ وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَ الْمَوْتُ بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللهِ وَكَرَمَاتِهِ فَلَيْسَ شَيْئٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، وَ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَـذَابِ اللهِ وَعُـقُوْبَتِهِ فَلَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَهَ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ فَكَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ

Siapa cinta berjumpa dengan Allah, maka Allah pun cinta berjumpa dengannya. Dan siapa benci berjumpa dengan Allah, maka Allah juga benci berjumpa dengannya. Aisyah (atau sebagian istri Nabi) berkata, “Sesungguhnya kami tidak suka akan kematian.” Rasul menjawab, “Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang mukmin, ketika ajal menjemput, dia digembirakan dengan keridhaan dan kemuliaan Allah. Maka, tidak ada sesuatu pun yang lebih dicintainya selain yang ada di depannya. Dia cinta bertemu Allah dan Allah cinta bertemu dengannya. Sesungguhnya orang kafir (ketika ajal menjemput), “digembirakan” dengan azab Allah. Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dibencinya selain yang ada di depannya. Dia benci bertemu Allah dan Allah benci bertemu dengannya.”
(HR Bukhari)

Orang yang kematian menjadi kepastiannya, tanah menjadi tempat pembaringannya, ulat tanah menjadi temannya, Munkar dan Nakir menjadi tamunya, kuburan menjadi tempat tinggalnya, perut bumi menjadi tempat menetapnya, Kiamat menjadi penantiannya, surga atau neraka menjadi tempat kembalinya, sepatutnya tidak memikirkan kecuali tentang kematian.

Orang ini sepantasnya tidak mengingat kecuali kepada kematian, tidak merencanakan kecuali untuknya, tidak berambisi kecuali kepadanya, tidak melakukan pendakian kecuali di atasnya, tidak punya perhatian kecuali kepadanya, tidak mengumpulkan daya kecuali untuk menghadapinya dan tidak menantikan kecuali kedatangannya.

Semestinya ia menganggap dirinya termasuk orang-orang yang sudah mati dan menjadi penghuni kubur, karena segala sesuatu yang akan datang adalah dekat, sedangkan yang jauh adalah sesuatu yang sudah lewat tidak datang sama sekali.

Secara filosofis, “tadi”, “kemarin” atau waktu yang telah berlalu adalah sesuatu yang sangat jauh, karena kita tidak mampu untuk mencapainya (kembali padanya). Sedangkan “esok”, “lusa”, “bulan depan”, “tahun depan”, “sewindu lagi” atau hal-hal yang akan datang merupakan sesuatu yang sangat dekat, karena keniscayaan bagi kita untuk menujunya.

Rasulullah saw. mengingatkan kita,

اَلْكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَـهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang cerdas adalah orang yang (senantiasa) mengintrospeksi dirinya (bermuhâsabah) dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian.”
(HR Tirmidzi)


Daftar Pustaka :

*
Adi W. Gunawan, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
*
Muhammad Ali asy-Syafi‘i asy-Syinwani, asy-Syaikh, “Syarah Abî Jamrah”
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
*
Sumardi, “Metafisika Akhirat – Tafsir Tematik Ayat-Ayat Akhirat Dalam Al-Qur’an dengan Pendekatan Kefilsafatan”, Makalah, Badan Penerbitan Pesantren Ulumul Qur’an Surabaya, 2007

Tulisan ini berlanjut ke : "Mengingat Mati, Perlukah? (2 of 2)"

Mengingat Mati, Perlukah? (2 of 2)

Mengingat Mati, Perlukah? (2 of 2)
Pada tulisan sebelumnya, telas dibahas pentingnya mengingat mati. Lalu, apa langkah selanjutnya agar kita senantiasa mengingat mati?

Persiapan untuk menghadapi sesuatu, tidak dapat sempurna kecuali dengan selalu mengingatnya di dalam hati. Sedangkan untuk selalu mengingat, tidak dapat dilakukan kecuali dengan mendengarkan dan memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengannya.

Orang yang tenggelam dalam arus dunia, cinta kepada tipu dayanya dan mencintai kenikmatannya adalah orang yang hatinya lalai dari mengingat kematian. Bahkan jika diingatkan, ia benci dan menghindar. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah :

Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu lakukan.” (QS al-Jumu‘ah [62] : 8)

Adapun orang yang bertaubat, ia sering mengingat kematian untuk menumbuhkan rasa takut di dalam hatinya, lalu ia terus menyempurnakan taubat. Ciri-ciri orang ini adalah bahwa ia selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.

Ibnu Umar ra. berkata, “Aku datang menemui Nabi saw. bersama sepuluh orang, lalu salah seorang dari kaum Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,

أَكْثَرُهُمْ ذِكْرًا ِللْمَوْتِ وَأَشَـدُّهُمْ إِسْتِعْدَادًا لَهُ أُولَئِكَ هُمُ اْلأَكْيَاسُ ذَهَبُوْا ِبشَرَفِ الدُّنْيَا وَكَرَامَةِ اْلآخِرَةِ

‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat’. ” (HR Ibnu Majah)

Sebagian kaum bijak menulis surat kepada salah seorang saudaranya, “Wahai Saudaraku, hati-hatilah terhadap kematian di kampung ini (dunia), sebelum engkau kembali ke suatu kampung di mana engkau mengharap kematian tetapi tidak akan mendapatkannya.”

Shafiyah ra. bercerita, “Seorang wanita mengadu kepada Aisyah ra. tentang kekerasan hatinya. Lalu Aisyah memberi saran, ‘Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya hatimu akan lembut.’ Lalu wanita itu melaksanakan saran Aisyah, sehingga hatinya menjadi lembut. Kemudian ia datang berterima kasih kepada Aisyah.”

“Tidakkah kalian melihat bahwa setiap hari, kalian menyiapkan orang-orang yang pergi kepada Allah? Kalian meletakkannya di dalam lubang kubur dengan berbantalkan tanah. Dia telah meninggalkan orang yang dicintai,” pesan Umar bin Abdul Aziz.

Ibnu Mas‘ud ra. berkata, “Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain.”

Cara untuk selalu mengingat kematian adalah dengan mengosongkan hati dari segala sesuatu, selain mengingat kematian yang ada di hadapannya. Seperti orang yang ingin bepergian untuk keuntungan besar atau mengarungi lautan, sehingga ia hanya memikirkan hal itu. Jika mengingat kematian telah meresap di hatinya, maka pasti akan memengaruhinya.

Salah satu implementasi teknisnya adalah dengan mengingat orang-orang yang kita kenal apalagi dekat dengan kita, namun telah pergi mendahului kita. Kita mengingat kematian mereka dan pembaringan mereka di dalam kubur. Selain itu juga membayangkan wajah-wajah mereka ketika masih memegang berbagai jabatan dan merenungkan bagaimana sekarang tanah kuburan telah menimbun mereka.

Abu Darda’ ra. menuturkan, “Jika engkau mengingat orang-orang yang telah mati, maka anggaplah dirimu sebagai salah seorang di antara mereka.”

Kulihat tubuhku terbujur kaku
Tak ada daya 'tuk berontak
Tak ada kuasa 'tuk berteriak
Kawan, katakan padaku, apa yang terjadi?!

Ziarah kubur juga termasuk hal yang akan mengingatkan kita pada akhirat (termasuk di dalamnya kematian, sebagai pintu menuju akhirat), sebagaimana sabda Nabi saw. :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فىِ الدُّنْياَ، وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ

Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, namun sekarang berziarahlah, karena hal itu akan menjadikan sikap hati-hati di dunia dan akan dapat mengingatkan pada akhirat. (HR Ahmad)

قَدْ كُنْتُ نَهَيْـتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ

Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian menziarahi kuburan, tetapi sekarang Muhammad telah memperoleh ijin untuk menziarahi kuburan ibunya, karena itu berziarahlah kalian; sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat. (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan an-Nasa’i, sedangkan lafazh hadits ini menurut riwayat Tirmidzi)

Namun demikian, tabiat manusia adalah kalau kita sudah sering melihat atau mendengar sesuatu, maka sesuatu itu tidak akan membawa dampak besar. Misal kita sudah sering melihat orang mati, biasanya perasaan kita akan biasa-biasa saja dalam memandang kematian. Jika kita setiap hari bergaul dengan orang sakit, maka nikmat sehat tidak begitu terasa. Bahkan, jika kita melihat kemaksiatan setiap saat, hal itu akan kita anggap wajar, bukan sebuah kesalahan.

Oleh karena itu, sebaiknya kita mencari sendiri teknik yang paling cocok untuk kita. Setiap orang mempunyai kecenderungan dan kebiasaan masing-masing. Setiap orang adalah unik, tidak bisa dipukul rata. Sebuah cara yang berhasil untuk orang lain, bisa jadi tidak mempunyai efek bagi yang lain.

Dalam bait puisinya, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm al-Andalusi berpesan :

Duhai kau!
Yang suka bermain-main di dunia ini
Ingat! Kehidupan dunia tak kan abadi
Tak cukupkah bagimu segala wejangan
Hingga kauhabiskan waktumu dalam permainan
Negeri yang fana ini segeralah kautinggalkan
Karna kenikmatannya tak lebih dari permainan
Tak ada yang abadi dalam kenikmatan dunia
Semua kan sirna bila waktunya tiba

Dunia ini pinjaman yang harus kaukembalikan
Pesonanya sesaat, fana dan hanya fatamorgana
Yang berakal tak kan terkecoh kilau-kemilaunya
Karna ia tahu ada kehidupan abadi di sana
Orang beriman tak betah di negeri persinggahan
Karna, negeri persinggahan bukanlah tujuan
Dunia tak terpikir, akhiratlah yang jadi pikiran

Kematian tidak perlu ditakuti, karena hakikatnya kita pun pernah mengalaminya, yaitu saat ketiadaan wujud kita di pentas alam raya ini, sebelum kita dilahirkan. Kematian kedualah yang kita bahas di sini, yaitu kematian ketika ruh meninggalkan jasad, menuju alam barzakh, pintu menuju akhirat.

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْـتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْياَكُمْج ثُمَّ يُمِيْتـُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ إِلَيْـهِ تُرْجَعُوْنَ

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS al-Baqarah [2] : 28)

Orang-orang durhaka pun mengakui bahwa mereka dihidupkan Allah dua kali dan dimatikan dua kali, sesuai firman-Nya :

قَالُوْا رَبَّنَاۤ أَمَتَّنَا ٱثْنَـتَيْنِ وَأَحْيَـيْتَنَا ٱثْنَـتَيْنِ فَٱعْتَرَفْنَا بِذُنُوْبِنَا فَهَلْ إِلىٰ خُرُوْجٍ مِّنْ سَـبِيْلٍ

Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi) kami untuk keluar (dari neraka)? (QS al-Mu’min [40] : 11)

Allah mematikan kita, agar kita dapat meningkat menuju hidup yang lebih sempurna. Kesempurnaan hidup manusia hanya dapat diraih dengan iman, amal shaleh dan dengan meninggalkan dunia ini.

Ar-Raghib al-Isfahani menulis, “Kematian merupakan tangga menuju kebahagiaan abadi. Ia merupakan perpindahan dari tempat ke tempat lain, sehingga dengan demikian ia merupakan kelahiran baru bagi manusia. Manusia dalam kehidupannya di dunia ini, dan dalam kematiannya, mirip dengan keadaan telur dan anak ayam. Kesempurnaan wujud anak ayam adalah menetasnya telur tersebut dan keluarnya anak ayam tadi meninggalkan tempatnya selama di dalam telur. Demikian pula manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat dicapai melalui perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia ini, sehingga—dengan demikian—kematian itu adalah pintu menuju kesempurnaan, kebahagiaan, surga yang abadi.”

Seseorang pernah ditanya tentang kematian, dan dia menjawab dengan penuh optimisme, padahal dia adalah orang awam, bukan intelektual.
“Takutkah Anda akan mati?”
“Ke manakah aku pergi bila aku mati?” dia balik bertanya.
“Kepada Tuhan.”
“Kalau demikian, aku tidak perlu takut, karena aku menyadari bahwa segala sesuatu yang bersumber dari Tuhan adalah baik. Tuhan tidak akan memberikan kecuali yang terbaik.”

Dengan kematian, manusia akan bebas bergerak, tak perlu menempa diri, mengendalikan syahwat, melawan setan, serta tak ada lagi larangan dan perintah. Kematian merupakan hadiah sekaligus penebus dosa bagi umat Rasulullah saw.

تُحْفَةُ الْمُؤْمِنِ الْمَوْتُ
Hadiah bagi seorang mukmin adalah kematian.
(HR Ibnu Abi Dunya, Thabrani dan Hakim)

الْمَوْتُ كَفَّارُةٌ لِكُلِّ مُسْـلِمٍ
Kematian adalah kafarat (penebus dosa) bagi setiap muslim.
(HR Abu Nu‘aim, Baihaqi dan al-Khatib)

Maksud hadits tersebut yaitu, kematian akan menyucikan dosa-dosa kecil setelah seorang muslim menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan menunaikan segala kewajiban.

Ka‘ab berkata, “Siapa mengenal kematian, maka segala penderitaan dan kesusahan dunia menjadi ringan baginya.”

Allah mematikan kita, agar manusia lain dapat merasakan hidupnya. Betapa sempit bumi ini, jika semua yang hidup bertahan hidup. Dan, betapa jenuh kehidupan ini, jika usia berlanjut (tidak pernah mati) tetapi disertai dengan kelemahan, penyakit dan kehilangan harapan. Sungguh kematian adalah nikmat, apalagi jika disadari bahwa ia merupakan pintu menuju kebahagiaan abadi.

Bahkan, setiap hari kita sudah mengenal saudara kematian, yaitu tidur. Allah SWT berfirman :

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (yang tidur) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS az-Zumar [39] : 42)

Fakhruddin ar-Razi mengatakan, “Yang pasti adalah, tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi.” Rasulullah saw. mengajarkan agar kita membaca doa pada saat bangun tidur :

اَلحْـَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ أَحْيـَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْـهِ النُّشُـوْرُ

Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak).

Seorang filosof Jerman, Schopenhauer berkata, “Mengantuk itu nikmat, tapi lebih nikmat lagi tidur. Sedangkan yang lebih nikmat daripada tidur adalah mati.”

Seorang penyair berkata :

Pernah aku bilang pada jiwa
Namun malah terbang menjadi bayangan pahlawan
Celaka engkau, kenapa tidak memperhatikan
Jika kau mohon sehari saja diundurkan dari ketetapan ajal
Tak akan dipenuhi
Bersabarlah menghadapi maut, bersabarlah
Toh tak seorang pun mampu menggapai keabadian
Pakaian kehidupan itu bukanlah pakaian kekuasaan
Karena bisa diambil dari seorang saudara yang menginginkan

‘Aidh al-Qarni memberi nasihat :

Segeralah bertaubat nasuha
Sebelum datang kematian dan dicabutnya ruh
Jangan meremehkan bentuk dosa
Segala perbuatan itu tergantung kepada akhir
Dan, siapa yang benar-benar suka bertemu dengan Allah
Maka, Allah lebih mencintai orang itu
Dan, sebaliknya orang yang membenci
Allah akan bertanya tentang rahmat-Nya
Baik yang didapat dengan mudah ataupun bersusah-payah

Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah, Dzat Yang Maha Menghidupkan (Al-Muhyî) dan Yang Maha Mematikan (Al-Mumît).

اللَّهُمَّ اخْتِمْ لَنَا بِحُسْنِ الْخَـاتِمَةِ وَنَعُوْذَ بِكَ مِنْ سُوْءِ الْخَـاتِمَةِ

Ya Allah, akhirilah hidup (wafatkanlah) kami dalam keadaan husnul khâtimah. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keadaan sû’ul khâtimah, amin.

Daftar Pustaka :

*
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
*
Ibnu Hazm al-Andalusi, asy-Syaikh, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007
*
Manshur Ali Nashif, asy-Syaikh, “Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah saw. (At-Tâju al-Jâmi‘u lil-Islâmi fî Ahâdîtsi ar-Rasûli)”, CV. Sinar Baru, Cetakan pertama : 1993
*
M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (1 of 2)

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (1 of 2)
Takbir berkumandang
Membahana di penjuru angkasa
Menyentuh relung kalbu
Menelusup ke dalam sanubari

Membuncah rasa di hati
Menjumpai hari kemenangan
Namun kesedihan juga meliputi diri
Benarkah kita telah menang?!

Di kamus “Al-Munawwir Arab–Indonesia”, al fith-ru (الفطر) adalah kasru ash-shawmi, yang artinya hal buka puasa. Selain fith-run, buka puasa disebut juga ifthâr (sighat mashdar dari afthara – yufthiru). Senada dengan hal tersebut, makan pagi yang dalam bahasa Inggris kita kenal dengan istilah breakfast (menghentikan puasa), dalam bahasa Arab disebut futhûr.

Dengan demikian, Idul Fitri (عيد الفطر) berarti kembali berbuka atau kembali makan.

Berdasarkan uraian tersebut, hari Idul Fitri dapat diterjemahkan sebagai hari kembali berbuka puasa. Oleh karena itulah salah satu sunnah sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri adalah makan atau minum walaupun sedikit. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hari itu waktunya berbuka dan dilarang berpuasa.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم لاَيَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَفِي رِوَايَةٍ عَنْهُ قَالَ : وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra : Tak sekali pun Nabi Muhammad saw. pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya. Anas juga mengatakan : Nabi saw. makan kurma dalam jumlah ganjil. (HR Bukhari)

Sampai di sini dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sesuai makna kata yang ada, Idul Fitri adalah kembali kepada aktivitas sebelum puasa, yaitu makan, minum dan hal-hal lain yang tidak diperbolehkan selama puasa Ramadhan. Apabila hanya ditinjau dari sudut pandang ini, memang Idul Fitri tidak mempunyai makna filosofis tinggi.

Namun di sisi lain, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata fithr antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar atau kesucian. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).

Hal ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw. bahwa puasa Ramadhan dan segala aktivitas ibadah di dalamnya menghapuskan dosa-dosa terdahulu.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa puasa Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

مَنْ قََامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسـَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa shalat malam di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh)

Sekian banyak ungkapan, kalimat bijak dan puisi juga telah disampaikan demi menunjukkan betapa agung dan mulia bulan Ramadhan itu. Salah satu ungkapan (maqâlah)—bukan hadits Nabi saw. berdasarkan penelitian KH. Ali Mustafa Ya'qub dan juga oleh Syaikh Albani—yang menjadi idola para da‘i adalah :

َأَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Awal (sepuluh hari pertama) bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya (sepuluh hari kedua) ampunan dan akhir Ramadhan (sepuluh hari terakhir) adalah pembebasan dari api neraka.

Argumentasi tersebut diperkuat lagi dengan kebiasaan kita saling memaafkan saat Idul Fitri. Memang, seharusnya meminta dan memberi maaf tidak perlu menunggu Idul Fitri. Namun demikian, tradisi maaf-memaafkan ketika Idul Fitri tetaplah baik. Tentunya harus dilakukan dengan tulus, bukan sekadar basa-basi. Oleh karena itu, ada ayat yang sangat populer ketika Idul Fitri, yang terjemahnya sebagai berikut :

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.

(QS Âli ‘Imrân [3] : 133-136)

Imam Muslim pernah meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa orang bangkrut adalah orang yang datang di Hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, sementara sebelumnya (di dunia) ia telah mencaci ini, menuduh (berzina) itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu dan memukul ini (dengan tidak haq).

Untuk menegakkan keadilan, kepada si ini diberikan ganjaran kebaikan orang itu dan kepada si itu diberikan ganjaran kebaikannya yang lain. Apabila habis ganjaran kebaikan orang tersebut sebelum semua tanggungannya terlunasi, maka akan diambil dosa-dosa mereka yang pernah disalahinya dan ditimpakan kepadanya. Kemudian orang itu pun dilemparkan ke neraka. Na‘ûdzubillâh.

Dalam bahasa Jawa, hari raya Idul Fitri disebut juga dengan istilah “Lebaran”. KH Masruri A. Mughni—pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah—menerangkan bahwa Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber. Untuk itu, dalam pemaknaannya haruslah diwujudkan pada hal-hal yang positif. Seperti menjalin silaturrahim sebagai sarana membebaskan diri dosa yang bertautan antar makhluk.

Silaturrahim tidak hanya berbentuk pertemuan formal. Halal bi halal, misal, maknanya sangat kering karena digelar hanya sebagai ritual formal. “Yang utama itu, menyambangi dari rumah ke rumah, saling duduk bercengkerama, saling mengenalkan dan mengikat kerabat,” anjur beliau.

Di sebuah hadits disebutkan :

مَا مِنْ مُسْلِمَيْن يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Al-Hasan menuturkan, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

Nah, pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri adalah, “Apakah kita memilih makna kembali suci (fith-rah) ataukah kembali makan (fith-run)?”


Daftar Pustaka :

*
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
*
Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
*
Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, “Kamus Al-Munawwir Indonesia—Arab Terlengkap”, Pustaka Progressif, Cetakan Pertama 2007
*
M. Abdul Manaf Hamid, “Pengantar Ilmu Shorof Ishthilahi—Lughowi”, P.P Fathul Mubtadin—Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, Edisi Revisi
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
*
Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabîdî, asy-Syaikh, “Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Al-Tajrîd as-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi‘ as-Shahîh)”, Penerbit Mizan, Cetakan III : Dzulhijjah 1419/April 1999
*
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14324

Tulisan ini berlanjut ke : "Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (2 of 2)"

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (2 of 2)

Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (2 of 2)

Sudahkah kita menjawab pertanyaan di pembahasan sebelumnya, yaitu “Apakah kita memilih makna kembali suci (fith-rah) ataukah kembali makan (fith-run)?”

Kemungkinan besar kita akan memilih kembali fitrah atau menggabungkan kedua makna yang ada, di mana tetap terdapat makna kembali fitrah, entah apa pun alasannya—apakah karena ikut-ikutan saja atau benar-benar dari lubuk sanubari.

Apa pun argumentasi kita, sah-sah saja jika kita berkata bahwa kita telah kembali kepada fitrah. Namun, jangan kita lupakan bahwa ucapan ini harus dipertanyakan atau diuji. Pertanyaan berikutnya adalah, “Apakah kita yakin bahwa puasa, tarawih, tadarrus dan segenap ibadah kita lainnya di bulan Ramadhan diterima Allah SWT?”

Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama, da‘i atau buku, kita merasa sudah melakukan itu semua.

Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.

Kita merasa sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah, yaitu Dhuha, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.

Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah, juga membaca shalawat untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad saw.

Kita merasa mendapatkan lailatul qadar karena kita senantiasa tarawih dan tidak lupa i‘tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelakunya bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.

Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya.

Begitu pula jika kita merasa diri baik dan benar, bisa jadi di dalam diri kita justru banyak sekali pintu-pintu yang sudah dimasuki dan dihuni oleh setan dan kawan-kawannya.

Seorang ulama menasihatkan, “Kita sering menggunakan ruas-ruas jemari tangan, tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita lafalkan. Pernahkah dengan alat yang sama, kita menghitung berapa banyak kata-kata tidak berguna, tidak santun, kasar apalagi sia-sia yang telah kita ucapkan?”

Mungkin kita bertanya, “Jika kita tidak diperbolehkan merasa semua ibadah kita diterima, apakah kita harus merasa segala ibadah kita ditolak? Bukankah hal ini akan membuat kita malas beribadah bahkan bisa menjurus kepada keputus-asaan?”

Kita juga tidak diperkenankan merasa semua ibadah kita tidak diterima dan segala dosa kita tidak diampuni. Yang harus dimiliki adalah rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan rajâ’ dan khawf bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).

Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu putera beliau,


“Wahai anakku, takutlah kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah tidak akan menerima kebaikanmu walaupun kebaikanmu itu mencapai seluruh kebaikan penghuni bumi.
Berharaplah kepada Allah, dengan menganggap bahwa apabila dosa kamu sebesar dosa seluruh penghuni bumi dan memohon ampunan dari Allah, maka Allah akan mengampuninya.”

Lalu, apa barometer bahwa puasa kita diterima Allah? Ukuran yang pasti hanya Allah Yang Maha Tahu. Namun, salah satu hal yang bisa kita jadikan rujukan adalah keadaan kita kembali seperti bayi lagi.

M. Quraish Shihab menerangkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan ke-9 menurut kalender Hijriyah. Sebagaimana kehamilan, maka setelah melewati bulan ke-9 sang jabang bayi akan lahir. Oleh karena itu, setelah Ramadhan, kita harus mengupayakan diri seperti bayi lagi, sebagaimana sebagaimana tercantum dalam sebuah penggalan hadits :

فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Maka siapa berpuasa dan qiyam Ramadhan karena iman dan semata-mata karena Allah, maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR Ahmad)

Apa pula parameter yang bisa kita jadikan ukuran bahwa kita kembali seperti bayi? Seorang Ibu Nyai menjelaskannya secara sederhana sekali, tidak perlu banyak atribut, aksioma maupun algoritma. Salah satu ciri utama yaitu, “Jika kita seperti bayi, maka apa pun yang kita ucapkan membuat orang lain bahagia mendengarnya.”

Tidakkah kita lihat bahwa apa pun celoteh bayi akan membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum, ceria, gemes dan bahagia? Sudahkah kita seperti ini?


Daftar Pustaka :

*
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
*
Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
*
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (1 of 2)

Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (1 of 2)

Ketika pertama kali penulis mau mengikuti tadarrus Ramadhan di masjid Roudhotul Jannah dekat rumah, Ibu penulis (beliau sudah almarhumah) berpesan dalam bahasa Jawa yang terjemahnya,
“Kalau nanti ada orang salah membaca, ngga usah ditegur... Ulangi saja sendiri bacaan yang salah tadi... Tidak setiap orang mau diingatkan bahwa bacaannya kurang tepat... Dikuatirkan nanti dia malu lalu ngambek, ngga mau tadarrus lagi...”

Bertahun-tahun nasihat ini penulis taati. Suatu ketika, penulis agak “gemes” karena ada seorang jamaah yang sejak awal Ramadhan selalu membaca lama sekali padahal yang lain sudah antri. Jamaah lain sungkan menegur karena tidak akrab.

Di hari kesekian puasa, akhirnya penulis menegurnya setiap kali salah baca. Maksud penulis agar dia sadar bahwa bacaannya masih banyak kesalahan, juga supaya dia menyadari sendiri tidak perlu membaca melebihi jamaah lain. Ternyata yang diungkapkan Ibu penulis terbukti. Esoknya orang tersebut tidak lagi terlihat tadarrus sampai akhir Ramadhan, bahkan Ramadhan berikutnya.

Dari peristiwa itu penulis mengambil kesimpulan bahwa kita harus menjaga perasaan orang lain. Salah satu contohnya, jika ingin mengingatkan orang lain harus dengan cara yang hati-hati, santun, ramah dan indah. Setiap orang ditakdirkan berbeda-beda, tapi sopan santun (akhlâq al-karîmah) adalah metode yang insya Allah bisa diterima dan disukai insan mana pun.

Sebenarnya, topik akhlâq al-karîmah sudah sering dibahas oleh para ustadz. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasul saw. bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ


Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR Malik)

Namun, entah kenapa konsep ini tidak banyak kita praktekkan. Mungkinkah kita hanya paham dan canggih dari sisi dalil? Mungkinkah pola pengajaran kita hanya menekankan segi hapalan dan kemampuan berdebat? Mungkinkah kita baru merasa hebat bila berhasil mengungguli ilmu orang lain dengan bukti keberhasilan kita mengalahkannya dalam adu argumentasi? Wallâhu a‘lam.

KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengkritik jamaah haji yang cenderung egois dan mau “menang sendiri” dengan alasan agar mendapat kemabruran.

Gus Mus menulis,
“Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya. Alangkah ironis! Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara-saudara mereka sendiri kanan-kiri.

Bagimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya mengandalkan semangat menggebu dan mengabaikan pemahaman. Masya Allah.”

Gus Mus menulis lagi,
“Berkenaan dengan hadits tentang kemabruran haji, ada riwayat yang menyebutkan adanya pertanyaan para sahabat saat Nabi Muhammad saw. menyebut-nyebut tentang haji mabrur itu, ‘Wa mâ birrul hajji yâ Rasûlallâh? (Apa kemabruran haji itu, ya Rasul?)’

Ternyata jawaban Rasulullah saw. tidak berhubungan dengan thawaf, sa‘i dan sebagainya. Tetapi, justru yang ada hubungannya dengan pergaulan sesama jamaah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan salam dan memberikan pertolongan.

Bila riwayat ini dianggap dha‘if, kita masih bisa menyimak sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sikap tawadhu‘, kemurahan, kelembutan dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri beliau sebagai hamba kepada Tuhan dan tepo seliro beliau terhadap sesama hamba-Nya.”

Salah seorang ipar penulis pernah berkisah,
“Sekarang ada semacam jasa body guard (laki-laki) yang bisa disewa untuk mengawal kita mencium Hajar Aswad. Badan mereka memang cukup besar untuk melindungi kita. Namun, untuk jamaah haji wanita, apalagi cantik, sebaiknya jangan menggunakan jasa ini. Kenapa?

Seorang jamaah wanita bercerita bahwa ketika dia menggunakan jasa orang-orang ini, tubuh mereka terkadang bahkan seringkali bersentuhan dengan tubuhnya. Bahkan, tangan mereka pun terkadang memegang tubuhnya, mungkin tujuannya sebagai perlindungan. Tapi, siapa yang tahu bahwa itu bukan kesengajaan untuk memegang tubuh jamaah wanita tersebut, karena ternyata jamaah itu memang cantik? Wallâhu a‘lam.”

Bukankah begitu memilukan dan memalukan kondisi seperti ini? Tidakkah ironi karena hal ini terjadi pada umat Islam yang katanya menjunjung tinggi akhlak? Mengapa harus ada “body guard” untuk mencium Hajar Aswad? Tidakkah kita rela antri dengan tertib dan sabar supaya semua saudara kita bisa menciumnya?

Rasulullah saw. telah bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ فىِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذاَ اشْـتَكَى عُضْوٌ مِنْهُ تَدَاعَى سَائِرُهُ بِالْحُمَى وَالسَّهْرِ


Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu (sakit) demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaq ‘alayh)

إِنَّ أَحَدَكُمْ مِرْآةُ أَخِيْهِ فَإِذَا رَأَى فِيْهِ شَيْـئًا فَلْيُمِطُهُ عَنْهُ


Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin bagi saudaranya. Jika ia melihat sesuatu pada saudaranya, maka hendaklah ia membersihkannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi—hadits hasan)

Bukankah sudah nyata bahwa kita adalah cermin saudara kita? Bukankah kita ingin diperlakukan dengan lembut, santun dan ramah, sebagaimana saudara-saudara kita pun ingin diperlakukan sama? Jika memang demikian adanya, lalu mengapa kita tidak mau memulainya terlebih dahulu? Bukankah sudah jelas kaidah yang ada, “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsika)”?

Timbul pertanyaan, “Bukankah berlomba-lomba dalam kebaikan dianjurkan bahkan diperintahkan? Bukankah untuk melaksanakan kebaikan tidak perlu mendahulukan orang lain? Bagaimana caranya kita tahu bahwa perbuatan kita kurang mencerminkan akhlâq al-karîmah?”

Kita gunakan saja metode standar, yaitu “Istafti qalbak (mintalah fatwa/bertanyalah kepada hati nuranimu.” Bukankah untuk meraih kebaikan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula?

Seorang sahabat Nabi saw. bernama Wabishah bin Ma‘bad berkunjung kepada Nabi saw, lalu beliau menyapanya dengan bersabda,
“Engkau datang menanyakan kebaikan?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah.
“Tanyalah hatimu (istafti qalbak)! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa dan tentram terhadap hati. Adapun dosa adalah yang mengacaukan dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.”
(HR Ahmad dan ad-Darimi)

Daftar Pustaka :

*
A. Mustofa Bisri, Kyai, “Membuka Pintu Langit”, Penerbit Buku Kompas, Cetakan kedua : November 2007
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
*
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke : "Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)"