Rabu, 26 Agustus 2009

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah)

Setiap Kita Penyabar (Ketika Belum Ada Masalah)

Ketika musim hujan, di suatu Senin sore mendung tebal memayungi sebagian wilayah Surabaya. Sunnatullah pun berlaku, hujan akhirnya turun begitu lebat, bak ribuan anak kecil berkejar-kejaran dengan riangnya. Alhamdulillah, saat pulang kerja curah hujan berkurang, hanya rintik-rintik sehingga hawa sejuk menyelimuti tubuh. Demi melindungi pakaian, penulis berkendara menggunakan jas hujan model lowo yang terbuka di kedua sisinya.


Ketika penulis melewati area Rungkut Industri, air menggenang di tepi sungai yang memisahkan jalur ke arah Rungkut Kidul dan Kutisari. Melihat air tergenang cukup banyak, penulis naik motor perlahan-lahan serta senantiasa berada di sisi kiri menuju Rungkut Kidul.


Tak disangka, sebuah taxi melaju cukup kencang. Byor..., sekawanan air merangkul penulis tanpa permisi. Pakaian basah di sisi kanan. “Yok opo, rek… Pelan-pelan po’o…,” gumam penulis perlahan. Bibir tersenyum kecut dibuatnya, tapi bagaimana pun semua t'lah terjadi. Ternyata, bersabar membutuhkan latihan secara konsisten dan persisten.

*******#######*******

Dalam keseharian, biasanya tutur kata kita mencerminkan bahwa kita seorang penyabar, apalagi ditunjang “keahlian” kita menasihati orang lain. Sayang beribu sayang, sifat dan sikap tersebut kita miliki hanya ketika kita sendiri belum mengalami masalah.


Bagaimana diri kita sebenarnya tercermin tatkala bertemu masalah. Saat muncul masalah, maka masalah itulah yang akan memisahkan dan menggolongkan tingkatan kita—apakah kesabaran kita berada di level TK, SD, SMP, SMA atau yang lain.


Manusia secara alami memang mempunyai kemampuan bersabar. Hal ini telah diakui oleh para pakar ilmu jiwa. Freud berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan memikul sesuatu yang tidak disenangi.


Lalu, bilamana kita bisa disebut penyabar? Penilaian sabar atau tidak dilakukan saat kita pertama kali menerima masalah. Jadi ketika ada masalah, reaksi pertama kitalah sebagai penentu sabar/tidaknya kita.


إنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلىَ

Sesungguhnya sabar—yang sangat terpuji—itu pada pukulan pertama (di kala mendadaknya kedatangan musibah). (Muttafaq ‘alayh)


Bila setelah beberapa lama kemudian baru kita berkata, “Aku sekarang sudah bersabar tertimpa musibah”, maka kita belum bisa disebut seorang penyabar. Namun demikian, untuk pembelajaran, hal ini tetaplah baik. Intinya semakin cepat kita menguasai diri semakin baik. Seterusnya kita berlatih agar bisa bersabar pada saat pertama kali mengalami peristiwa apa pun.


Telah sering dijelaskan pula oleh para ulama bahwa kesabaran itu dalam tiga kondisi, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar ketika mendapat musibah dan sabar dalam meninggalkan maksiat.


Sekarang mari kita lihat apakah kita juga sabar dalam ketaatan. Asumsikan saja bahwa kita senantiasa shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an dalam keseharian. Suatu ketika perusahaan tempat kita bekerja mengadakan rekreasi ke luar kota untuk seluruh karyawan dan keluarga. Berangkat rekreasi hari Jum’at malam dan pulang Minggu malam.


Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apakah kita tetap shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an di hotel/penginapan?” Ataukah kita akan berkata, “Sekali-sekali ngga apa-apalah ngga shalat Dhuha dan baca Al-Qur’an. Toh cuma dua hari saja.” Nah, manakah yang kita pilih?


Kemungkinan besar kita akan enggan melaksanakannya karena keadaan yang menurut kita kurang memungkinkan. Argumentasi kita karena acara yang disusun panitia cukup padat dan menarik, selain itu disertai door prize sehingga kita merasa rugi besar bila melewatkan setiap event.


Mari merenung sejenak. Untuk contoh sederhana begitu saja, kita sudah dikalahkan oleh situasi dan kondisi. Entah apa yang kita lakukan bila yang kita alami lebih rumit. Entah apa pula yang akan kita lakukan bila kita sedang berada di puncak bukit kesedihan atau di dasar lembah kegalauan. Mungkin saja kita akan meninggalkan semua ibadah sunnah dan hanya mengerjakan yang fardhu, itu pun demi menggugurkan kewajiban saja—lamcing (habis salam, langsung plencing).


Ada juga ungkapan salah kaprah yang kadang kita ucapkan ketika mendapat cemoohan dan gangguan, “Sabar itu ada batasnya. Sekarang saya sudah tidak bisa lagi bersabar atas kelakuannya.”


Sebenarnya sabar itu tak terbatas dan tak bertepi, kita sendirilah yang membatasi. Imam Ibnul Qayyim menuturkan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi tubuh. Apabila kepala terpotong maka tak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”


Lalu, bagaimana kiat agar bisa bersabar? Sekian banyak tips dan trik telah dikemukakan. Salah satunya sebagaimana nasihat bijak berikut ini,


“Masalah dalam hidup seperti garam.”


“Rasa ‘asin’ (pedih, pusing, penat, lelah dsb.) yang dialami sangat tergantung dari besarnya kalbu yang menampung. Supaya tidak terlalu menderita, janganlah jadi segelas air. Segelas air bila diberi segenggam garam akan terasa sangat asin. Oleh karena itu, jadikan kalbu di dalam dada sebesar danau. Berlapang dadalah, niscaya memanggul masalah apa pun tidak akan terasa berat. ”


Inti nasihat tersebut yaitu semua hal tergantung kepada diri kita sendiri, bukan pada masalah yang terjadi. Masalah sama akan berbeda hasilnya bila disikapi dengan cara berbeda.


Tentang kesabaran, Al-Qur’an bahkan dua kali berpesan agar menjadikan kesabaran (dan shalat) sebagai sarana untuk memperoleh segala yang dikehendaki.


وَاسْتَعِْينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat. (QS al-Baqarah [2] : 45)


يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ اسْتَعِْينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan (melalui) sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Baqarah [2] : 153)


M. Quraish Shihab menerangkan bahwa di ayat-ayat tersebut terlihat yang didahulukan adalah kesabaran, baru shalat. Hal ini bukan saja karena shalat pun membutuhkan kesabaran, tetapi juga karena syarat utama tercapainya yang dikehendaki adalah kesabaran dan ketabahan dalam memperjuangkannya.


Sabar biasanya pahit di awal, namun manis di akhir. Semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan menolong kita sehingga bisa menjadi penyabar, amin...


Daftar Pustaka :

*
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
*
M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar