Selasa, 24 Maret 2009

Al-Jailani (Sulthanul Auliya)

isi : jum"at : 044/I/2008
Nasihat Al-Jailani (Sulthanul Auliya) Kepada Penguasa zalim

Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik (QS Al-Isra : 23)

Selayang pandang tentang Al-Jailani

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (selanjutnya penulis sebut Al-jailani), adalah ulama besar yang terkenal sebagai Sulthanul Auliya", Silsilah nasabnya, baik dari pihak ibu maupun bapak, bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Beliau lahir pada tanggal 1 Ramadhan 471 H/1077 M di sebuah desa bernama Jailan Tabaristan. Dilahirkan oleh ibunya (Syarifah Fathimah) saat bersusia 60 tahun. Nama belakang Al-Jailani diambil dari desa tempat kelahiran beliau. Menurut DR. As-Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Naqwi, Al-Jilani menetap di Baqhdad (Irak) selama 37 tahun pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Sebagian tabib ahli jiwa di Baqdad pada masa itu mengatakan : selama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menetap di Baghdad empat puluh tahun, di Baghdad tidak pernah terjadi seorang pun yang menderita sakit jiwa, tetapi setelah beliau wafat, berjangkitlah penyakit jiwa itu.

Al-Jailani Seorang Penentang Kezaliman Penguasa

Al-Jailani adalah seorang yang paling tidak percaya dan paling benci terhadap para "ulama gedongan" dan "ulama resmi" (ulama pemerintah). menurut Al-Jailani, mereka adalah orang-orang yang menjadi milik para raja dan pemimpin-pemimpin pemerintah. Ibnu Katsir mengatakan, al-Jailani adalah seorang penyeru pada yang ma"ruf dan pencegah pada yang mungkar terutama ditujukan kepada para khalifah, menteri, sultan, pemutus hukum maupun masyarakat, baik yang sipil maupun militer. Dalam kitab Qalaidul Jawahir dijelaskan, ketika Al-Muqtafi liamrillah melimpahkan kuasa pemerintahannya kepada Al-Qadhi Abil Wafa" Yahya bin Said bin Yahya bin Mudhafar, terkenal dengan predikat anak zalim. Al-Jailani berpidato diatas mimbar : Tampaknya saat ini kaum muslimin telah diperintah oleh seorang pemimpin yang sangat aniaya, bagaimanakah pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, Tuhan seru sekalia alam, Dzat Rahman dan Rahim? Mendengar pidato beliau, sang khalifah pun gemetar dan menangis hingga akhirnya ia mnegubah sikap dan menjadi seorang yang menyibukkan waktu untuk ber-uzlah.

Selain penentang kezaliman penguasa, beliau juga banyak memberikan nasihat kepada penguasa-penguasa pada jamannya, meskipun beliau bukan ulama pemerintah. Syekh Abdullah Al-Mushally menceritakan : Sesungguhnya ada seorang raja Al-Mustanjid billah yaitu Abul Mudhaffar Yusuf datang menghadap Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (Qaddasahullahu Sirrahu) lalu ia mengucapkan salam kepada beliau dan memohon kepada beliau untuk dinasihati dengan membawa sepuluh kantong penuh berisi uang yang dibawa oleh sepuluh pembantunya (untuk hadiah beliau), tetapi beliau menolaknya, maka raja itu merasa kecewa dan memaksa beliau agar sudi menerimanya. Lalu beliau mengambil dua kantong yang paling baik dan memerasnya sehingga mengalirlah darah. Kemudian beliau menasihati kepada raja : apakah engkau tidak malu kepada Allah swt. memeras darah rakyat yang kemudian engkau serahkan kepada saya dan memaksa untuk menerimanya? Seketika itu raja pingsan. Beliau pun berkata : Demi kemuliaan Dzat yang berhak disembah, seandainya saya tidakmenghormati nasabnya yang bersambung dengan Rasulullah saw. pasti saya biarkan darah itu mengalir terus sampai ke rumahnya.

diceritakan pula, suatu ketika Syekh Abdullah Al-Mushally menyaksikan raja Abul Mudhaffar Yusuf berada di depan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Raja berkata kepada beliau: Saya ingin melihat sesuatu dari "keramahan" untuk menenangkan hati saya. Beliau (Al_Jailani) pun bertanya: Apa yang engkau kehendaki? Jawab raja : Saya menginginkan buah apel dari alam ghaib. Padahal di Irak pada waktu itu belum musim apel. Maka Al-Jailani menjulurkan tangannya ke udara, tiba - tiba di tangan beliau ada dua buah apel, yang satu diberikan kepada raja, satunya lagi beliau pegang. Kemudian beliau memecah apel yang ada di tangan beliau, tampaklah apel itu warnanya putih bersih, baunya harum bagaikan kasturi. Raja pun memecah apel yang diberikan beliau satunya, namun apel itu penuh dengan ulat. kata raja, mengapa begini? Al-Jailani pun berkata: apabila ada di tangan orang zalim, apel ini akan mengeluarkan ulat sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan bila berada ditangan kekasih Allah, apel ini menjadi harum.

Diceritakan pula, bahwa beliau tidak mau mengagungkan orang kaya (sabda Nabi: man tawadhdha"a li ghaniyyin dzahaba tsulutsan diinihi; barangsiapa yang merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya, hilanglah duapertiga agamanya) dan berdiri karena datangnya orang-orang yang mempunyai kedudukan Malah, pernah beliau melihat seorang raja bermaksud menemuinya, ketika beliau sedang duduk, kemudian beliau tinggalkan lalu masuk ke kamar beliau. Lalu beliau keluar lagi untuk menemui khalifah (raja) setelah raja duduk. Beliau tidak mau berdiri di depan pintu-pintu raja atau menteri dan juga tidak mau menerima hadiah dari raja sampai sang raja menggerutu karena beliau tak mau menerima pemberian hadiahnya. Kepada raja beliau berkata: Bawalah sendiri hadiah itu ke sini. raja pun menurutinya. Tiba-tiba di dalam apel itu penuh darah dan nanah. Beliau berkata kepada raja: Mengapa raja selalu mencemooh dan melecehkan saya, padahal saya tidak mau memakan buah apel ini karena seluruhnya penuh darah manusia. Seketika itu, sang raja bertobat dan minta maaf kepada beliau, dan selanjutnya raja sering mengunjungi beliau untuk memohon nasihat sampai beliau wafat.

Al-Jailani Seorang Pembenci Dunia (Harta) yang Menetap di Hati Manusia

Al-Jailani tidaklah membenci seseorang yang memiliki harta kekayaan, melainkan beliau hanya berpaling dari perasaan untuk menguasai dunia, sebab hal itu menyebabkan hati tidak dapat dikalahkan. Dalam suatu pengajian, beliau mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat orang-orang yang menguasai dunia, tetapi ia tidak mencintainya. Ia memilikinya tetapi ia tidak memiliki dunia. Dunia tidak dapat memusuhinya, tetapi ia malah dapat memusuhinya. dunia melayani dirinya, tetapi ia tidak sampai jatuh menjadi pelayan dunia. Ia dapat menceraikan diri dari dunia, tetapi dunia tidak mampu mencerai beraikan dirinya. Sesungguhnya, hati orang seperti ini sangat bagus dan suci terhadap Allah Azza wa Jalla. Dunia tidaklah mungkin mampu membawa pengaruh kerusakannya Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terhadap dunia, ia sesuka hati dapat menguasainya. Akan tetapi sebaliknya ia sama sekali tidak dapat dikuasai dunia. Inilah realitas sabda Nabi Muhammad saw : Nikmatnya harta yang baik itu bilamana dipegang oleh manusia-manusia yang baik pula. Bagi Al-Jailani, beliau tidak memusuhi adanya harta benda di dalam rumah ataupun peti-peti penyimpanan, tetapi ia membenci adanya dunia yang menetap di hati. Dibolehkan kepadamu menggunakan harta di hadapan Tuhan, tetapi janganlah engkau membiarkannya masuk melalui jalan belakang. Itu tidak akan membawa kemuliaan bagimu. Demikianlah sosok Al-Jailani hamba Allah yangs ederhana dan patut menjadi acuan dalam kehidupan kita sehari-hari.

** Ditulis untuk buletin Da"wah "Al-Khair" UNISSULA. Disarikan dari KH. Habib Abdullah Zakiy Al_Kaaf (penyadur;2003) dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Perjalanan Spiritual Sulthanul Auliya.
Drs. Ahmad Rohani HM, M.Pd , 4 January 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar